Pages

Subscribe:
..:: "Welcome to La takhaf wala tahzan, thanks you for visit and don't forget to give your comment in this website " ::..
  • Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan
  • Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya
  • Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak.
  • Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak boleh mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari
  • Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya
  • Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat

Rabu, 12 Desember 2012

Ayat Mutasyabihat



 
BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang universal. Disanalah manusia dituntut untuk selalu berfikir realistis dan rasionalis. Namun disamping itu, Al Quran sebagai peta utama umat islam memberikan tuntunan dan petunjuk agar akal manusia digunakan sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, Al-Qur’an sebagai media petunjuk sekaligus dimensi pengaktualisasian nlai-nilai islam yang cemerlang membutuhkan pemahaman, penghayatan yang tidak mudah. Hal itu dikarenakan didalam Al Quran itu sendiri ada ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Maka pada ayat mutasyabihat itulah yang merupakan sebab utama ada berbagai pemahaman yang berbeda dikalangan para ulama. Dalam penafsirannya, sehingga tidak mustahil perdebatan akan terjadi dimana-mana dan dikalangan apa saja dalam umat islam.
Menyikapi hal tersebut, kita sebagai orang islam wajib kiranya tidak menjadikan hal tersebut sebgai benih permusuhan di dalam umat islam sendiri. Dan mengembalikan penilaiannya kepada yang Maha mengetahui yakni Allah Swt.
Sehubungan dengan itu, maka secarik alasan inilah yang menimbulkan rasa keinginan yang mendalam tentang apa itu ayat muhkamat dan apa itu ayat mutsyabihat sehingga dalam penulisan makalah ini ada sebuah gambaran yang yang jelas tentang ayat-ayat tersebut dan hikmah yang terkandung di dalamnya. 
B.       RUMUSAN MASALAH
Dari keterangan singkat di atas kami menemukan beberapa rumusan masalah, di antaranya ;
1.      Apa definisi dari muhkam dan mutasyabih ?
2.      Bagiamana sikap para ulama terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih ?
3.      Apa saja hikmah dari adanya ayat muhkam dan mutsyabih ?
  1. MAKSUD DAN TUJUAN
1.      Mengetahui lebih jauh tentang ayat- ayat muhkam dan mutasyabih.
2.      Memperdalam keilmuan dalam memahami Al-Quran .
3.      Memperluas pemahaman dalam menyikapi ayat-ayat muhkam dan mutsyabih.
 


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Muhkam dan Mutasyabih
Secara bahasa, kata muhkamat berasal dari kata yang memiliki arti ketelitian, keakuratan, pencegahan dan keseksamaan.[1] Sedangkan mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar. Mutasyabih di ambil dari kata tasyabaha-yatasyabahu, artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbukan kesamaan antara dua hal. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang  lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan penakwilan bagi seorang muslim. Dan tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat melainkan Allah Swt.[2]
Sebagian ulama mendefinisikan muhkam dan mutasyabihat sebagai berikut ;
1.      Ulama golongan ahlussunnah waljamaah mengatakan lafadz muhkam adalah lafadz yang diketahui makna, maksudnya baik karena mimang sudah  jelas artinya maupun karena dengan ditakwilkan. Sedangkan lafadz mutasyabihat adalah lafadz yang pengetahuan artinya dimonopoli Allah Swt. Manusia tidak ada yang bisa mengetahuinya. Contoh, terjadinya hari kiamat.[3]
2.      Ulama golongan hanafiyah mengatakan lafadz muhkam  ialah lafadz yang jelas petunjuknya dan tidak mungkin telah dinasukh ( di hapus hukumnya). Sedangkan lafadz mutasyabihat adalah lafadz yang sama maksud dan petunjuknya sehingga tidak terjangkau oleh akal fikiran manusia ataupun tidak terjangkau oleh akal fikiran manusia ataupun tidak tercantum dalam dalil-dalil nash, sebab, lafadz mutasyabih itu termasuk hal-hal yang diketahui Allah Swt saja artinya. Contoh, hal-hal yang ajaib.
3.      Mayoritas ulama’ golongan ahlul fiqh yang berasal dari pendapat ibn ‘Abbas mengatakan lafadz muhkam ialah lafadz yanf tidak biasa dtakwilkan kecuali satu arah atau satu segi karena masih sama. Misalnya, masalah surga, neraka, dan sebagainya.
4.      Ibn abi Hasyim mengeluarkan sebuah riwayat dari ali bin Abi thlib dari ibn ‘Abbas yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang menghapus ( nasikh), berbicara tentang halal haram, ketentuan-ketentuan, (hudud), kefarduan, serta yang harus  diimani  dan di amalkan. Adapun ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus (mansyuk), yang berbicara tentang perumpamaan-perumpamaan (amtsal), sumpah (aqsam), dan yang harus diimani, tetapi tidak harus di amalkan.[4]
5.      Abdullah bin hamid mengeluaran sebuah riwayat dan Adh-Dhahak bin Al-muzahim (w.105 h.) yang mengatakan bahwa ayat-ayat  muhkam adalah ayat tidak di hapus.
Dari pengertian  tersebut dapat disimpulkan bawa inti muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Termasuk dalam kategori muhkam adalah nash ( kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas, dan memang untuk makna itu ia di sebutkan ) dan dzahir (  makna lahir ). Adapun  mutasyabih adalah ayat- ayat yang maknanya belum  jelas, masuk dalam  kategori mutasyabih adalah mujmal ( global), muawwal ( harus diketahui), musykil , dan (ambigius).
B.     Sikap para ulama terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui pula oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan pendapat itu bermuara pada cara menjelaskan struktur kalimat ayat berikut.
 وما يعلم تا ءريله الاالله والراسحون فى ا لعلم يقو لو ن ا منا به
“….. padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya, melainkan Allah dan orang_orang yang mendalam ilmunya berkata,”kami beriman kepada yat-ayat yang mutasyabih,,,,” ( QS.Ali imran :7 )
Apakah ungkapan wa Al-rasyikhuna fi AL-‘im di-athaf-kan pada lafadz Allah, sementara lafadz yaquluna sebagai hal. Ini artinya ayat-ayat mutasyabih diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya. Atau apakah ungkapan wa Al-rasyikhuma fi Al-‘ilmi sebagai mubtada’, sedangkan lafadz yaquluna sebagai khabar / ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam  ilmunya hanya mendalaminya.
Ada sedikit ulama’ yang berpihak pada penjelasan gramatikal pertama, di antaranya adalah mujahid (w.104 H.) yang diperoleh dari ibn ‘abbas, ibn Al-mundzir mengeluarkan  sebuah riwayat dari mujahid. Dan ibn ‘abbas, mengenai  surat Ali imran ayat 7 ibn ‘abbas berkata, “aku di antara orang yang mengetahui takwilnya,” pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah meng-kitabi hamba-hambanya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya, ulama’ lain yang masuk dalam kelompok ini adalah Abu Hasan Al-as’ari dan Abu ishaq Ash-Syirasi (w. 476H.). Asy-sirasi berkat “tidak ada satu ayatpun yang maksudnya hanya diketahui Allah.”para u lama’ sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam..?
Sebagian besar sahabat, tabi’in, dan generasi sesudahnya, terutama kalangan ahlusunnah, berpihak pada penjelasan grammatikal yang kedua, ini pula yang merupakan riwayat paling sahih dari ‘bn ‘abbas.
Al-raqhib al-asfahami membagi ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga kategori ; pertama, kategori mutsyabih yang sama sekali tidak ada jalan bagi manusia untuk mengetaui seperti ; waktu datangnya hari kiamat, hakikat surge, hakikat neraka, juga kalimat dabbah al”ardh(sejenis binatang yang akan muncul pada saat menjelang  kehancuran alam semesta)dan lain-lain. Kedua kategori mutsyabih yang dengan berbagai sarana manusia memiliki kemungkinan untuk memngetahuinya seperti kata-kata asing dan hukum-hukum ambigu. Dan ketiga, kategori mutasyabih yang yang berada di antara keduanya yanfg hakikatnya hanya dapat diketahui oleh sebagian orang yang mendalam ilmunya, dan tidak dapat diketahui oleh selain mereka. Hal ini sebagaimana yag disyariatkan oleh do’a rosulullah saw, kepada ibn ‘abbas;
“ ya Allah, berilah ia pemahaman yang mendalam dalam bidang agama dan ajarkanlah takwil kepadanya,”  [5]
Aliran dalam islam dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok;
1.    Madzhab salafi , yaitu para ulama’ dan generasi sahabat. Mereka ketika menghadapi ayat-ayat yang demikian  berusaha untuk mengimaninya dan menyerahkannya kepada Allah swt,.
Pada suatu hari Imam malik pernah ditanya tentang makna istiwa’ (bersemayam) yang terdapat dalam al-qur’an surat Al-thaha ; 5, ia menjawab, “ lafadz istiwa’ telah dmengerti, namun tentang bagaimana bersemayamnya Allah tidak dapat diketahui. Pertanyaan yang demikian merupakan suatu bid’ah. Aku kira orang yang bertanya itu memiliki niat buruk”. Kemudian ia memerintahkan para sahabatnya ; singkirkan dia dariku……!”
2.      Madzhab khalaf, yaitu para ulama’ generasi berikutnya seperti imam haramai dan jamaah zaman berikutny. Mereka berpendapat bahwa ayat-ayat mutsyabihat yang secara lahiriyah mustahil bagi Allah, harus ditetrapkan maknanya dengan pengertian yang sesuai dan sedekat mungkin dengan dzatnya. Mereka menakwilkan lafadz istiwa’( bersemayam)  sepertyang terdapat dalam Q.S thaha : 5, dengan maha berkuasa menciptakan segala sesuatu tanpa susah payah.  Kalimat ja’a terbuka ( kedatangan Allah) dalam Q.S Al- fajr; 22, ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. Fauqa (diatas) yang terdapat dalam Q.S Al-an’am:1 dengan ketinggian yangbukan arah atau urutan. [6]
Kriteria ayat muhkamat dan mutasyabihat ada tiga masalah yang sangat penting terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat. Pertama, boleh tidaknya mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat. Kedua,  jika boleh siapa saja yang memiliki otoritas untuk menginterpretasi ayat-ayat mutasyabihat. Ketiga, kriteria apa agar sebuah ayat bisa dimasukkan kedalam kategori muhkamat dan mutasyabihat.
Tidak adanya kata sepakat tentang pengertian muhkam atau mutasyabih. Ada banyak kesulitan untuk membuat standart kriteria karena boleh jadi ayat-ayat yang disebut muhkam oleh sekelompok orang , justru dipandang mutasyabih oleh kelmpok lainnya. Firman Allah yang berkenaan dengan dengan jannah dan nar misalnya, misalnya bagi kebanyakan kaum muslimin disebut muhkamat, sedangkan leh sebagian lainnya seperti golongan bathiniyah , justru disebut mutasyabihat karena gambaran tentang jannah dan nar difahami sebagai metafor-metafor yang tidak tentu menuju pada hakikatnya.
C.  Hikmah adanya  ayat muhkam mutasyabih.
Terlepas dari kontroversi tentang ada atau tidaknya muhkam dan mutasyabih dalam Al-Qur’an ini, tetapi bagi yang mengakuinya dapat ditemukan beberapa hikmah sebagai berikut;
1.      Memperlihatkan kelemhan akal mnusia.
2.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih .
3.      Memberikan pemahaman abstrak – ilahiyah kepada kepada manusia malalui pengalaman indrawi yan biasa disaksikannya.
4.      Jika seluruh ayat Al-qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sirnalah ujian keimanan dan amal perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya, orang yang idak tahan uji terhadap cobaan maka merek akan ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabihat. [7]
5.      Al-Qur’an yang berisi muhkam dan mutasyabih memberi motivasi kepada umat islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka terhindar dari taqlid.
6.      Adanya ayat muhkam memudahkan manusia mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayati untuk diamalkan dalam kehidupan disisi lain, adanya mutasyabihat memotivasimanusia untuk senantiasa menggunakan dalil akal disamping dalil naqli.
7.      Adanya muhkam dan mutasyabih sebagai bukti kejelasan al-qur’an yang memiliki mutu tinggi nilai sastranya agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk nabi  Muhammad, tetapi produk Allah agar mereka melaksanakan isinya.   





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1. Ayat muhkam artinya adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas tidak samar lagi.
2. Para ulama’ berbeda pendapat tentang penafsiran ayat-ayat mutasyabihat
3. Dengan adanya ayat muhkam dan mutasyabih maka terbukalah rahasia didalamnya.
B.     Saran
Dalam menghadapi ayat-ayat muhkam dan mutasyabih kita sebagai orang islam sebaiknya mengembalikan semua itu kepada Allah Swt karena dibalik itu ada rahasia hikmah yang tersimpan.













DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an. Bandung: pustaka setia, 2008.
Chotib, Moh.. buku ajar ulumul Qur’an. Pamekasan: stain pamekasan press, 2006.
Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an. Bandung: Tafakkur, 2009.
Nor ichwan, Muhammad. Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an. Semarang: Rasail,2008.
http://afrinaldiyunas.blogspot.com/2011/12/ ayat-ayat-muhkamat dan mutasyabihat.    html.
http://handienioke. Blogspot.com/2011/01/normal-o false-false-false-in-none-x,html.
http:/sitimy. Wordpress.com/2008/04/29/muhkamat-dan-mutasyabihat/





[1] http:// afrinal diyunas. Blogspot.com /2011/12/ayat-ayat-muhkam-dan mutasyabihat.html.
[2] http;// handie nioke. Blogspot.com/2012/01/normal-0-false-false-in-x-none-x.html.
[3] Moh. Chotib. Buku ajar ulumul qur’an,(Pamekasan:stain pamekasan press, 2006).
[4] Rosihon  Anwar. Ulum Al-Qur’an,(Bandung: pustaka setia, 2008).
[5] Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an,(Bandung:tafakkur,2009).
6 Mohammad Nor Ichwan,Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an,(Semarang:Rasail,2008).
[7] http:// sitimy. Wordpress.com/2008/04/29/muhkamat-dan-mutasyabihat/

0 komentar:

Posting Komentar

 

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan
earth
top down