Pages

Subscribe:
..:: "Welcome to La takhaf wala tahzan, thanks you for visit and don't forget to give your comment in this website " ::..
  • Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan
  • Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya
  • Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak.
  • Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak boleh mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari
  • Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya
  • Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat

Kamis, 19 Januari 2012

Sebuah Catatan Era Reformasi di Indonesia

Dalam sejarahnya, Indonesia telah mencatat sebanyak tiga fase pemerintahan. Atau yang lebih kita kenal dengan era Orde Lama yaitu masa kepemimpinan Ir. Soekarno dari sejak kemedakaan Indonesia, era Orde Baru yaitu masa kepemimpinan Jendral H Muhammad Soeharto yang manggantikan presiden Ir Soekarno, dan yang terakhir adalah era yang disebut-sebut dengan Reformasi, yaitu masa yang dimulai dari lengsernya Presiden Soeharto dari kursi presiden setelah menjabat sejak tahun 1968-1998.
Ketiga fase pemerintahan itu telah menorehkan berbagai macam sejarah baik dan buruk mengenai Indonesia secara umun dan kehidupan rakyatnya secara khusus. Banyak prestasi yang telah dicapai oleh ketiga fase ini. Era Orde Lama telah berjuang dalam pembentukan pemerintahan baru Indonesia, mencari pengakuan atas kemerdekaan Indonesia dari berbagai Negara Internasional, ikut serta dalam perdamaian dunia melalui berbagai organisasi internasional. Sedangkan dalam masa Orde Baru sudah dapat dianggap sukses dari program pembangunan Pelitanya, program KB, trasmigrasi, pemberantasan buta huruf, dan meningkatkan pendapatan per kapita Indonesia.
Pada era Reformasi seluruh sistem pemerintahan di Orde Lama yang tidak sesuai dengan rakyat Indonesia telah dirubah. Seperti pemerintahan yang bertajukkan kekuatan militer, tidak adanya kebebasan pers dan berpendapat, sistem DPR-MPR yang tidak berjalan sehingga aspirasi rakyat tidak secara penuh tersampaikan, adanya pemerintahan yang korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan dibungkamnya sistem oposisi terhadap pemerintahan, semuanya telah berubah sejak era reformasi.
Namun terlepas dari prestasi-prestasi yang mungkin bisa dianggap baik tersebut, tentunya kita juga tidak bisa terlepas dari berbagai permasalahan pelik rakyat Indonesia. Memang dari setiap fase pemerintahan mempunyai masalah-masalah tersendiri. Ada permasalahan yang tidak muncul ketika Orde Lama, tatapi muncul ketika Orde Baru. Begitu juga masalah yang ada di masa Reformasi.
Dari semua rezim yang ada itu, sepertinya sangat menarik untuk ditinjau dan dikaji lebih lanjut, perjalanan reformasi yang ketika lahirnya itu sangat diagung-agungkan.
Setelah Orde Baru bisa dilumpuhkan dengan kekuatan mahasiswa, seakan hawa segar arus demokrasi di Indonesia mulai membuka lembaran baru. Tuntutan terhadap reformasi pemerintahan ini tentu saja dari ketidakpuasan rakyat dengan pemerintah sebelumnya. Seperti terpasungnya kebebasan pers dan berpendapat, tidak berjalannya sistem DPR-MPR secara baik, adanya dominasi kekuatan militer, praktek KKN yang merajalela dalam tubuh pemerintah, dan yang paling mendesak ketika itu adalah tuntutan pemulihan perekonomian negara saat terjadinya krisis moneter.
Tuntutan itu akhirnya dapat terwujud dengan pengunduran diri Presiden Soeharto dari kursi pemerintahan pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian digantikan oleh BJ. Habibie. Meskipun sempat terjadi penolakan dari sebagian mahasiswa dengan dipilihnya BJ. Habibie sebagai presiden yang menggantikan Soeharto dengan dalih BJ. Habibie juga bagian dari rezim Orde Baru, tapi pelantikan presiden BJ Habibie tetap dilaksanakan.
Wajah baru Indonesia telah terwujud. Kebebasan pers, berpendapat maupun berpolitik layaknya air terjun yang mengalir deras. Sistem Demokrasi Terpimpin yang diterapkan pada Orde Lama dan Demokrasi Pancasila pada Orde Baru sudah tergantikan dengan sistem Demokrasi baru yang bercermin kepada Barat. Hal ini tentu saja ditanggapi baik dan didukung sekali oleh elemen-elemen Barat. Karena sitem Demokrasi yang baru itu sudah terpengaruh dengan budaya pola hidup serta pola pikir Barat. Seperti yang diakui Samuel P. Huntington dalam bukunya The Third Wave, democratization in the late twentieth century, bahwa faktor budaya tidak dapat diabaikan dalam demokratisasi.
Di sebuah media masa pernah ditulis bahwa Atase Pertahanan (Athan) Swiss Kolonel Peter Heider menyampaikan rasa bangga Pemerintah Swiss atas pelaksanaan reformasi nasional di Indonesia yang cepat, untuk membentuk negara yang berlandaskan demokrasi. Dia menilai Indonesia sebagai negara yang multi etnik sangat banyak permasalahan, namun dengan semangat dan ruh Pancasila sebagai dasar negara, dapat melindungi Indonesia.
Apresiasi di atas mungkin memang ada benarnya. Karena negara Indonesia yang bisa dikatakan berumur sangat dini di tahun 1998, memang sangat berani melakukan reformasi sistem pemerintahan. Perjuangan reformasi ini ternyata tidak sia-sia begitu saja. Di mana sekarang rakyat Indonesia bisa merasakan kebebasan-kebebasan yang sekian lama terkekang. Mungkin itu adalah salah satu catatan indah dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
Namun sebenarnya kalau kita perhatikan dan teliti lebih seksama, langkah awal yang kita ambil dalam mereformasi pemerintahan Orde Baru telah menjadi bumerang bagi negara kita sendiri. Kita telah berhasil keluar dari sistem Demokrasi Pancasila Orde Baru yang dikendalikan dengan kekuatan dan kekuasaan militer sungguh merupakan prestasi yang patut dibanggakan. Tapi ketika itu kita belum tahu persis kemana harus melangkah. Demokrasi Pencasila yang telah ditinggalkan, akhirnya digantikan dengan Demokrasi yang diadopsi dari Barat.
Kita seakan terkecoh dengan pendapat Demokrasi yang berasal dari Barat, sehingga ketika terjadi kekosongan sistem pemerintahan pada masa transisi setelah Demokrasi Pancasila, para elit politik lebih melirik kepada Demokrasi Barat. Karena tujuan utamanya adalah meninggalkan sistem Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila, sedangkan yang tersedia hanya Demokrasi Barat. Lebih-lebih ketika itu pengaruh Amerika Serikat sangat kuat sekali. Karena memang Amerika Serikat sangat berambisi agar seluruh negara di dunia ini menggunakan sistem Demokrasi Barat. Yaitu demokrasi yang bernafaskan liberalisme dan individualisme. Karena Demokrasi model ini memang sudah terpengaruh dengan budaya Barat yang liberal.
Padahal sistem Demokrasi model ini sangat tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Budaya Barat yang mempengaruhi Demokrasinya lebih bersifat liberal tanpa batas, dan lebih mementingkan individualisme. Mereka mewarisi kaum Marxis, kaum materialis, dan sekular.
Indonesia memiliki budaya, pola pikir, dan pandangan hidup sendiri. Indonesia yang mayoritas Muslim tentu memiliki pandangan hidup dan budaya yang berbeda dengan Barat. Masyarakat Muslim lebih mendahulukan mayoritas dan kepentingan bersama. Menerapkan kebebasan yang sudah pasti ada batas-batasnya. Hal ini tentu saja sangat bertentangan sekali dengan nafas Demokrasi Barat.
Pada awal-awal reformasi mungkin dampak dari ini semua belum terasa. Tetapi bukan berarti tidak menimbulkan dampak. Bahkan dampak dari asas demokrasi ini sangat besar sekali. Ini akan menyangkut kepada jalannya pemerintahan ke depannya. Dan akhirnya nasib kesejahteraan rakyat berada di dalam tanggungannya.
Reformasi sistem pemerintahan memang telah terlaksana. Tetapi kekhawatiran-kekhawatiran tentu saja masih tetap ada. Apakah semangat reformasi yang begitu menggelora itu memang betul-betul sesuai dengan harapan kita? Apakah reformasi ini benar-benar bisa membawa negara  beserta rakyatnya kepada perbaikan yang lebih baik dari Orde Baru?
Dengan adanya reformasi, paling tidak kita telah bisa bernafas lega setelah dikekang kebebasan kita di masa Orde Baru. Suara rakyat yang dulunya tidak dapat tersampaikan di DPR, sekarang sudah benar-benar terwakilkan. Bahkan kita bisa menuntut suara tersebut. Pers yang dulunya tidak dapat bergerak bebas, sekarang sudah dapat memuat berita apa saja dengan bebasnya. Kelompok oposisi yang dulunya diharamkan, sekarang sudah berani berkoar-koar mengkritiki kinerja pemerintah. Bahkan budayawan dan seniman pun dipersilahkan mengkritik pemerintah, kalau memang ada ketidakberesan dalam pemerintahan.
Masa reformasi ini dapat disebut dengan “liberalisasi politik”. Karena memang seperti yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, demokrasi yang dianut pasca Orde Baru adalah Demokrasi Barat yang liberal. Liberalisasi politik ini sebenarnya adalah proses pendefinisian ulang tentang hukum-hukum dan perluasan hak-hak. Liberalisai adalah proses pengektifitasan hak-hak individu dan kelompok dari perlakuan ketidakadilan negara. Liberalisasi ini ditandai dengan redefinisi hak-hak politik rakyat. Sehingga dengan demikian terjadi perubahan yang signifikan dalam bidang politik.
Hal itu bisa terlihat dari banyaknya partai-partai politik baru bermunculan. Pemilu tahun 1999 adalah Pemilu pertama yang dilaksanakan pada masa Reformasi. Sama halnya seperti Pemilu tahun 1955, Pemilu tahun 1999 ini juga dinilai sebagai Pemilu yang paling bersih. Di mana Pemilu benar-benar murni tanpa campur tangan dan bahkan rekayasa pemerintah.
Namun kita tentu saja tidak bisa berbangga begitu saja dengan reformasi ini sementara kondisi bangsa tetap saja begini. Bahkan tokoh bangsa yang tergabung dalam Petisi 50 menyatakan keprihatinannya terhadap kelanjutan reformasi ini. Keprihatinan ini pernah dinadakan oleh Judilherry Justam, salah seorang tokoh Petisi 50 saat menyampaikan sambutannya waktu peringatan 27 tahun Petis 50 di kediaman Ali Sadikin tahun 2007 silam.
Sedangkan matan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin melihat bangsa Indonesia telah gagal dalam menjalankan visi dan misi reformasi.
“Kemiskinan, kemelaratan, penderitaan lahir batin semakin parah. Mereka yang miskin dan menganggur semakin meningkat jumlahnya. Sehingga, gerakan reformasi bertekad memulihkan pri kehidupan rakyat yang terpuruk,” katanya.
Sekarang, reformasi seakan sudah tidak terkontrol lagi. Kebebasan yang diidam-idamkan ketika Orde Baru ternyata benar-benar bebas tanpa batas. Budaya dan paham luar sangat mudah masuk, tanpa ada filter. Nilai-nilai Barat sudah mulai mendarah daging dalam masyarakat kita. Sementara itu nilai budaya kita sendiri mulai terkikis. Akhirnya semua orang merasa benar dengan pendapatnya sendiri, tanpa mau memandang pendapat orang lain.
Kondisi bangsa dan rakyat di era Reformasi
Lebih dari 10 tahun sudah reformasi berjalan. Tentu ada kemajuan yang dicapai, namun juga pastinya ada kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki. Ada sisi positif dari reformasi, juga ada sisi negatifnya. Tapi yang perlu menjadi bahan evaluasi adalah kekurangan-kekurangan tersebut, meskipun tidak mengesampingkan sisi positifnya.
Dalam sebuah program di stasiun TV swasta pernah menampilkan 10 hal yang tidak disenangi rakyat Indonesia di era reformasi. Sumbernya adalah hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Media Group.  Survei tersebut dilakukan kepada masyarakat pengguna telepon residensial di Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Makasar yang dipilih secara acak melalui buku telepon.
Sepuluh fakta yang tidak disenangi oleh masyarakat pasca reformasi tersebut adalah: harga sembako mahal, tingkat korupsi masih tinggi, meningkatnya angka kriminalitas, ekonomi tidak stabil, kerusuhan meningkat, banyaknya demonstrasi, BBM langka dan mahal, sistem politik semrawut, kebebasan yang tidak bertanggungjawab, serta jumlah pengangguran yangbertambah.
Terlepas dari survei tersebut, kenyataan yang ada memang juga demikian adanya. Harga BBM sempat terombang-ambing. Korupsi juga masih merajalela. Nuansa perpolitkan semakin mencekam. Banyak terjadi bentrokan yang tak berarti yang terjadi selama Pilkada ataupun Pemilu. Belum lagi bentrokan antar kelompok dan golongan. Seperti halnya kejadian Monas, bentrokan yang terjadi antara FPI dan AKKBB.
Masalah kemiskinan, meskipun program Pemerintah untuk menangani masalah ini sudah cukup banyak yang terealisasikan seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan BOS (Bantuan Oprasional Sekolah), namun ternyata itu masih belum mampu menurunkan angka kemiskinan yang signifikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, hasil survei pada Maret 2009, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Hasil ini memang menunjukan penduduk miskin berkurang 2,43 juta jiwa dibandingkan dengan (hasil survei) Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen (dari total populasi). Namun tetap saja 14,15 persen itu bukanlah angka yang kecil buat Negara seperti Indonesia.
Berkenaan dengan pendidikan, Indonesia masih menyimpan sekitar 15,04 jiwa yang buta huruf. Berdasarkan laporan di tahun 2005, Indonesia menempati nomor urut 111 dari 177 negara. Di kawasan Asia Tenggara saja kita masih jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan negara Malaysia yang menempati posisi 59, Thailand di posisi 76, Philipina peringkat 83, dan Vietnam yang menempati posisi 109.
Isu yang tak kalah penting lainnya adalah isu ekonomi. Ternyata sejak jatuhnya perekonomian di era Orde Baru, kita masih belum dapat bangkit meski sudah di era reformasi. Bahkan kondisi tersebut kian terancam memburuk saat terjadinya krisis finansial Amerika Serikat yang berimbas kepada krisis finansial global. Dampak dari itu semua, banyak pengusah-pengusaha yang bangkrut. Dan banyak juga terjadi PHK besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan.
Tim Indonesia Bangkit (TIB) mencatat utang Indonesia dalam 5 tahun terakhir justru mengalami peningkatan sebesar 31 persen menjadi Rp 1.667 triliun. Utang sebesar ini merupakan utang terbesar Indonesia sepanjang sejarah. Dan pada tahun 2009 harus dapat dibayar 100 triliun.
Untuk dapat membayar utang sebesar itu tentunya membutuhkan kebijakan yang besar pula, salah satunya dari Pajak Investor dan Eksport. Untuk mendapatkan Pajak Investor yang besar tentunya Pemerintah harus banyak mengundang Investor dan memberikan kemudahan-kemudahan bagi mereka supaya mereka dapat menanamkan modalnya di indonesia. Sehinggga apabila Investor tumbuh maka nilai eksport juga akan meningkat.
Akan tetapi situasi seperti ini sebenarnya akan menyulitkan Indonesia itu sendiri. Investor-investor tersebut layaknya raja. Sehingga dengan demikian negara kita sangat rawan untuk diatur oleh investor-investor tersebut. Meskipun hal tersebut sudah ada ketentuan-ketentuan yang berlaku sebelumnya antara investor dengan Pemerintah. Dan yang ditakutkan dan yang berbahaya adalah masuknya paham ekonomi Neoliberalisme yang sangat tidak sesuai dengan Pancasila dan masyarakat Indonesia.
Kalau kita amati seksama keadaan sekarang ini di era reformasi dengan perbandingannya kepada Orde Baru, maka tidak ada yang spesial dari sekedar kebebasan-kebebasan yang tanpa kontrol belaka. Bahkan dari isu stabilitas keamanan negara, sepertinya jaman Orde Baru lebih terkontrol daripada di era reformasi.
Dari berbagai isu dan permasalahan yang telah diungkapkan tersebut, maka sudah cukup sekali bila kita jadikan sebagai bahan untuk evaluasi dan introspeksi. Kita semua tentu saja tidak ingin kondisi negara tetap seperti ini saja tanpa adanya kemajuan yang berarti. Untuk itulah kita perlu memikirkan dan mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Kita tidak perlu pesimis menghadapai kondisi bangsa seperti ini, karena solusi dari setiap permasalahan itu pasti ada.
Dari pemaparan ini semua, akhirnya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sangat mendasar. Dan semua pertanyaan itu nantinya akan berujung kepada kesimpulan, bahwa reformasi yang telah digulingkan di Indonesia hingga sekangan adalah reformasi yang tanpa kontrol, alias kebablasan.
Penulis: Ahmad Sadzali, pegiat kajian Nun Center

0 komentar:

Posting Komentar

 

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan
earth
top down