Pages

Subscribe:
..:: "Welcome to La takhaf wala tahzan, thanks you for visit and don't forget to give your comment in this website " ::..
  • Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan
  • Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya
  • Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak.
  • Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak boleh mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari
  • Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya
  • Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat

Kamis, 09 Februari 2012

ISLAM RAHMAT BAGI SELURUH ALAM




Bahwa sesungguhnya Kami (Allah) tidak mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (wa maa arsalnaaka illa rahmatan li`l-`alamiin). (QS Al-Anbiya` [21]: 107)
Rangaian terjemahan ayat diatas merupakan salah satu ayat yang menunjukkan kepada kita bahwa Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi alam semesta ini.  Dalam system hokum yang digunakan, islam menekankan pada 3 aspek yang diantaranya adalah :
1.      pendidikan jiwa manusia agar menjadi sumber kebaikan bagi masyarakatnya, dan mencegah timbulnya kejahatan apa pun dari dirinya terhadap siapa pun. Di antara cara-caranya, dengan menetapkan berbagai jenis ibadah (ritual) yang tujuannya adalah meningkatkan keimanan serta akhlak mulianya dan menajamkan keprihatinannya (atau concern dan komitmennya) terhadap sesama makhluk Allah swt. Misalnya, ibadah shalat yang (apabila dilakukan dengan khusyu` sambil menghayati makna-makna yang terkandung dalam bacaan-bacaannya) dapat mencegah si pelaku dari perbuatan keji dan kemungkaran (inna`sh-shalata tanha `an`l-fahsyaai wa`l-munkar). Dan apabila dilakukan secara berjamaah, dapat mempererat persudaraan antar umat. Demikian pula puasa dan haji, sepanjang dilaksanakan dengan menghayati tujuan-tujuan mulianya. Sedangkan zakat merupakan sarana pensucian jiwa dari penyakit kebakhilan dan sekaligus sebagai sarana hubungan kasih sayang antara para hartawan dan kaum fakir miskin.
2.      menegakkan keadilan antar manusia, baik di antara sesama umat maupun di antara umat-umat yang lain. Yang dalam Firman-Nya berbunyi : ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia agar kamu menetapkannya dengan adil . . . ”(QS An-Nisa` [4]: 58).
Keadilan yang dimaksud, bukan saja yang ditujukan terhadap terhadap sesama kaum Muslim saja, atau mereka yang kita sukai saja, tetapi bahkan terhadap mereka yang kita benci atau kita musuhi. Tak hanya itu, keadilan seperti yang diperintahkan Allah tersebut, mencakup segala bentuk hukum, kesaksian, mu`amalah (transaksi antar manusia) dsb; sebagaimana Rasulullah saw. pernah bersabda, ”Perlakukanlah manusia sebagaimana engkau ingin diperlakukan oleh mereka". Demikian pula mencakup keadilan soial. Semua manusia adalah sama di hadapan hukum. Yang kaya maupun yang miskin, yang kuat maupun yang lemah, yang berkuasa maupun yang tidak berkuasa, dan yang berkulit putih maupun yang hitam. Sabda Nabi saw., Semua kalian berasal dari Adam, sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Tak ada keutamaan seorang Arab atas yang non-Arab, kecuali berdasarkan ketakwaan.
3.      mengutamakan kemaslahatan -bagi pribadi maupun masyarakat umum- dalam segala aturan dan perundang-undangan yang disyariatkan. Walaupun kadang-kadang ada juga yang tertutup hikmah dan pemahamannya bagi sebagian orang, terutama yang qalbunya telah dikuasai oleh hawa nafsunya sendiri. Sebab, yang dikehendaki agama dalam hal ini adalah kemaslahatan yang hakiki, yang berlaku bagi pribadi maupun umum, bukan yang berdasarkan hawa nafsu atau ego seseorang. (Tentang kemaslahatan ini, penjelasan lebih detailnya pada bagian berikutnya).
Kesimpulan dari ketiga prinsip dasar ini, adalah bahwa kita dapat menyatakan dengan tegas bahwa seandainya ada fatwa hukum dari siapa pun, yang bertentangan dengan akhlak karimah, atau menyalahi keadilan atau mengabaikan kemaslahatan bagi umat, maka fatwa seperti itu perlu ditinjau kembali dan disempurnakan (bahkan jika perlu ditolak) sampai menjadi sejalan dengan ketiga prinsip dasar tersebut. Wallahu a`lamu bi`s-shawab.
Dari kesimpulan diatas, dijelaskan bahwa kemaslahatan yang dikehendaki Islam dalam penetapan hukum-hukumnya (sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah) adalah kemaslahatan hakiki yang berlaku bagi pribadi maupun umum. Kemaslahatan seperti itu menurut para ulama mencakup perlindungan dan pemeliharaan keselamatan lima hal esensiil bagi manusia, yaitu:
Ø  Melindungi agama, guna menjaga manusia agar tetap sebagai makhluk yang dimuliakan di atas semua makhluk Allah yang lain, dan tidak turun martabatnya menjadi seperti binatang yang hidup liar, tanpa aturan dan akhlak. Untuk itu, hukum harus berupaya melindungi agama setiap manusia dari segala bentuk kejahatan yang ditujukan kepadanya
Ø  Melindungi jiwa, adalah hak setiap manusia untuk hidup bebas dan mulia, dan melindunginya dari segala kejahatan yang ditujukan kepadanya, baik membunuhnya atau melukainya secara fisik, maupun dengan perbuatan pencercaan, pelecehan maupun tuduhan palsu dsb. yang melanggar kehormatannya, ataupun menyinggung perasaannya.
Ø  Melindungi akal manusia agar tetap sehat dan cerdas, sehingga bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan umat, terhindar dari segala penyakit atau kelainan yang dapat menjadikannya beban bagi masyarakat umum, atau sumber kejahatan bagi mereka. Karenanya, dalam upaya melindungi akal dari kerusakan, Islam melarang segala jenis minuman keras yang memabukkan dan segala jenis narkoba yang dapat merusak akal. Dan bagi mereka yang tetap melanggar, disediakan hukuman tetentu yang bertujuan mencegah atau membuatnya jera dari perbuatan seperti itu.
Ø  Melindungi harta (milik perorangan maupun perusahaan dan negara) dari kejahatan terhadapnya, baik melalui pencurian, perampasan, korupsi dsb. maupun melalui perjudian, penipuan dalam perdagangan dsb.
Ø  Melindungi keturunan, dengan mengatur segala jenis hubungan antara laki-laki dan perempuan. Agar setiap anak yang lahir mempunyai orang tua yang sah dan bertanggung jawab atas kesehatan dan pendidikannya. Sehingga ia tumbuh sebagai anggota yang berguna bagi lingkungan dan umatnya
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
UKHUWAH DALAM AL-QURAN
Ukhuwah    (ukhuwwah)    yang    biasa    diartikan    sebagai "persaudaraan",  terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti "memperhatikan". Makna asal ini  memberi  kesan  bahwa persaudaraan  mengharuskan  adanya  perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Boleh jadi, perhatian itu pada  mulanya  lahir  karena  adanya persamaan  di  antara  pihak-pihak  yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  ukhuwah diartikan  sebagai  "setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan". Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup  persamaan  salah  satu  unsure seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan  bahwa  kata  akh  yang  membentuk  kata ukhuwah digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat.
Masyarakat   Muslim   mengenal  istilah  ukhuwmah  Islamiyyah. Istilah ini  perlu  didudukkan  maknanya,  agar  bahasan  kita tentang  ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan  kebahasaan  untuk  menetapkan kedudukan  kata Islamiah dalam istilah di atas. Selama ini ada kesan  bahwa  istilah  tersebut  bermakna  "persaudaraan  yang dijalin   oleh   sesama   Muslim",   atau  dengan  kata  lain, "persaudaraan antar sesama Muslim", sehingga dengan  demikian, kata "Islamiah" dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Pemahaman  ini  kurang  tepat. Kata Islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat  dipahami  sebagai  adjektifa, sehingga  ukhuwah Islamiah berarti "persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam." Paling tidak, ada  dua alasan untuk mendukung pendapat ini. Pertama,  Al-Quran  dan  hadis  memperkenalkan  bermacam-macam persaudaraan, seperti yang akan diuraikan selanjutnya. Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam  bahasa  Arab,  kata sifat  selalu  harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang  disifati  berbentuk  indefinitif  maupun  feminin,  kata sifatnya  pun  harus  demikian. Ini terlihat secara jelas pada saat  kita  berkata  ukhuwwah   Islamiyyah   dan   Al-Ukhuwwah Al-Islamiyyah. 
Dalam  Al-Quran,  kata  akh  (saudara)  dalam  bentuk  tunggal ditemukan sebanyak 52 kali. Kata ini dapat berarti. 
1.      Saudara kandung atau saudara seketurunan, 
2.      Saudara yang dijalin oleh ikatan  keluarga
3.      Saudara dalam arti sebangsa, 
4.      Saudara semasyarakat, 
5.      Persaudaraan seagama.
Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara. Di atas telah dikemukakan bahwa dari segi bahasa, kata ukhuwah dapat  mencakup  berbagai  persamaan. Dari sini 1ahir lagi dua macam persaudaraan, yang walaupun secara tegas  tidak  disebut oleh   Al-Quran  sebagai  "persaudaraan",  namun  substansinya adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah:
a.       Saudara sekemanusiaan (ukhuwah insaniah). Ini berarti bahwa semua  manusia  adalah seketurunan dan dengan demikian bersaudara.
b.      Saudara semakhluk dan seketundukan kepada Allah.Ini berearti bahwa segenap makhluk yang ada di alam semesta ini merupakan saudara. 
 
Ø  Macam-macam Ukhuwah Islamiah
Di atas telah dikemukakan arti ukhuwah Islamiah, yakni ukhuwah yang  bersifat  Islami  atau  yang diajarkan oleh Islam. Telah dikemukakan pula beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau jenis  "persaudaraan"  yang disinggung oleh Al-Quran. Semuanya dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini  memperkenalkan  paling tidak empat macam persaudaraan:
1.      Ukhuwwah  'ubudiyyah  atau   saudara   kesemakhlukan   dan kesetundukan kepada Allah. 
2.      Ukhuwwah  insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka  semua  berasal  dari seorang  ayah  dan  ibu. 
3.      Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan  dalam keturunan dan kebangsaan.
4.      Ukhuwwah fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama Muslim.
persaudaraan  seagama  Islam, dan persaudaraan yang jalinannya bukan karena agama. Ini tecermin dengan jelas dari  pengamatan terhadap penggunaan bentuk jamak kata tersebut dalam Al-Quran, yang menunjukkan dua arti kata akh' yaitu: Pertama, ikhwan, yang biasanya  digunakan  untuk  persaudaraan tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali sebagian disertakan dengan kata  ad-din  (agama)  seperti  dalan  surat At-Taubah ayat 11.
"Apabila mereka bertobat, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudara kamu seagama"
Sedangkan sebagian lain tidak dirangkaikan dengan kata  ad-din (agama) seperti:
"Jika kamu menggauli mereka (anak-anak yatim), mereka adalah saudara-saudaramu (QS Al-Baqarah [2]: 220)".
Teks ayat-ayat tersebut secara  tegas  dan  nyata  menunjukkan bahwa Al-Quran memperkenalkan persaudaraan seagama dan persaudaraan tidak seagama. Bentuk jamak kedua yang digunakan oleh Al-Quran adalah ikhwat, terdapat   sebanyak  tujuh  kali  dan  digunakan  untuk  makna persaudaraan seketurunan, Menarik untuk dipertanyakan, mengapa Al-Quran menggunakan kata ikhwah  dalam  arti  persaudaraan seketurunan ketika berbicara tentang persaudaraan sesama Muslim,  atau  dengan  kata  lain, mengapa  Al-Quran  tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata ini digunakan  untuk  makna  persaudaraan  tidak  seketurunan? Bukankah  lebih  tepat menggunakan kata terakhir, jika melihat kenyataan bahwa saudara-saudara  seiman  terdiri  dari  banyak bangsa dan suku, yang tentunya tidak seketurunan? 
Kemungkinan hal  ini  bertujuan  untuk  mempertegas dan mempererat jalinan hubungan antar  sesama-Muslim,  seakan-akan hubungan  tersebut  bukan  saja dijalin oleh keimanan (yang di dalam ayat itu ditunjukkan oleh kata  al mu'minun),  melainkan juga "seakan-akan" dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang ditunjukkan oleh kata ikhwah).  Sehingga  merupakan  kewajiban ganda   bagi   umat  beriman  agar  selalu  menjalin  hubungan persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satupun yang   dapat   dijadikan   dalih  untuk  melahirkan  keretakan hubungan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
MULTIKURTURALISME
Pengertian Multi-Kulturalisme
Dalam masyarakat yang majemuk (yang terdiri dari suku, ras, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda), kita sering menggunakan berbagai istilah yaitu : pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’.
Dibandingkan konsep Pluralitas dan Keragaman, Multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan.  Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya.  Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.  Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.  Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial. 
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan  Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Menurut Rogers dan Steinfatt Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain. Atau pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural. Sedang Suryadinata menyebutkan bahwa multikulturalisme menghargai dan berusaha melindungi keragaman kultural.
Multiklturalisme dan Islam
Pada kesempatan yang lain, Samsu Rizal Panggabean memberikan gambaran mengenai pandangan Islam tentang Multikulturalisme, yang mana dia menjelaskan bahwa kenekaragaman itu sendiri ada dalam tubuh Islam (masyarakat Islam), disamping kenekaragaman yang terjadi di luar Islam. Dalam tulisannya yang berjudul Islam dan Multikulturalisme, Rizal membahas multikulturalisme dalam dua arah pembicaraan, yaitu : multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).
a)         Multikulturalisme Internal
Multikultuiralisme Internal adalah keanekaragaman internal dikalangan umat Islam, ini menunjukkan bahwa kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang paling primitif. Kemajemukan internal ini mencakup antara lain : Bidang pengelompokan sosial; Bidang fiqh; Bidang teologi, Bidang tasawuf dan dimasa modern seperti politik kepartaian.
Dilihat dari sudut multikulturalisme internal ini, pluralisme identitas kultural keagamaan dalam masyarakat Muslim bukan hanya merupakan fakta yang sulit dipungkiri. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan. Dalam hal ini, setiap identitas kultural terus berinteraksi dengan dengan identitas kultural yang lain di dalam tubuh umat. Melalui interaksi itu, setiap identitas mendefinisikan identitasnya dalam kaitannya dengan identitas yang lain dan karenanya, secara sadar atau tidak, suatu identitas dipengaruhi identitas yang lain. Multikulturalisme internal ini, dengan demikian, mengisyaratkan kesediaan berdialog dan menerima kritik. 
b)     Multikulturalisme Eksternal
Multikultural eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan, merupakan fakta yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Muslim. Dimasa lalu, imperium-imperium Islam, walaupun ada penisbatan dan pelabelan Islam pada namanya, selalu bercirikan multikultural dalam pengertian keanekaragaman komunitas keagamaan. Imperium besar seperti Usmani di Turki meupun imperium yang lebih kecil seperti Ternate dan Tedore di wilayah Timur Nusantara selalu mencakup lebih dari dua komunitas kultural-keagamaan.
Dilihat dari sudut multikulturalisme eksternal ini, pluralisme keagamaan bukan hanya merupakan fakta yang tidak dapat dihindari. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan terhadap keanekaragaman budaya dan agama. Sebagai bagian dari kondisi yang majemuk, umat Islam terus berinteraksi dengan umat dari agama-agama lain. Melalui proses interaksi ini, umat Islam memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan Islam. Sejarah menunjukkan bahwa ufuk intelektual dan moral peradaban Islam menjadi luas dan agung dengan atau setelah membuka diri terhadap masukan dan pengaruh dari kebudayaan dan peradaban lain – bukan dengan mengurung diri di dalam ghetto kultural yang sumpek dan absolutis.



















SOLIDARITAS SOSIAL
Secara etimologi arti solidaritas adalah kesetiakawanan atau kekompakkan. Dalam bahasa Arab berarti tadhamun atau takaful. Islam adalah agama yang mempunyai unsur syariah, akidah, muamalah dan akhlak. Kejayaan Islam juga sudah terbukti membentang dalam peradaban manusia. Nilai-nilai Islam yang terpancar dan dirasakan oleh umat manusia, adalah suatu hal yang tidak bisa diukur dengan harta benda, karena dia berasal dari Yang Maha Kuasa. Solidaritas salah satu bagian dari nilai Islam yang humanistik-transendental.
Wacana solidaritas bersipat kemanusiaan dan mengandung nilai adiluhung, tidaklah aneh kalau solidaritas ini merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi !. Memang mudah mengucapkan kata solidaritas tetapi kenyataannya dalam kehidupan manusia sangat jauh sekali. Kita sebagai bangsa Indonesia yang didera multi krisis jangan berkecil hati untuk memperbaiki ke arah yang lebih baik lagi. Perjuangan solidaritas ala Islam salah satu wahana untuk meningkatkan ketakwaan dan keshalehan sosial. Di alam yang serba komplek ini untuk menuju tangga ketakwaan (solidaritas) memang membutuhkan perjuangan yang tidak remeh karena berkaitan dengan hati dan kesiapan. Tapi tidaklah kita memperhatikan teladan nabi Muhammad SAW dan sebagian para sahabat nabi yang dijamin masuk surga, mereka melakukan amalan-amalan yang terpuji karena mengharap ridha Allah SWT?.
Keshalehan sosial bukan milik kiyai, konsultan, tukang cukur, bankir, tukang baso, peneriak reformasi dsb. Tapi setidaknya keshalehan sosial ini bisa diukur dengan parameter orang bersangkutan berbuat amal shaleh dan proyek kebaikan lainnya. Karena iman dan amal menjadi mata rantai yang harus sinergis, oleh karena itu keduanya tampil menjadi mainstream (unsur, indikator. Pen) dalam sebuah perubahan sosial. Akan sulit kiranya, sebuah perubahan jika iman hanya disandarkan pada keshalehan vertikal (mahdhah) tanpa dibarengi dengan keshalehan sosial (amal shleh) yang lebih memihak kepada persoalan kemanusiaan. Inti dari iman tidak cukup percaya kepada Tuhan, namun iman bisa berfungsi untuk memerangi ketidakadilan dan pembebasan manusia.
Nilai kebaikan solidaritas dalam Al-Quran berbunyi: “… Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah: 2). Inilah pondasi nilai Islam yang merupakan sistem sosial, dimana dengannya martabat manusia terjaga, begitu juga akan mendatangkan kebaikan bagi pribadi, masyarakat dan kemanusiaan tanpa membedakan suku, bahasa dan agama. Solidaritas juga tercermin dalam Hadits: “Saya (Rasulullah SAW) dan pengayom, pelindung anak yatim di surga seperti dua ini, lalu Rasulullah SAW memberikan isarat dengan jari telunjuk dan tengah” (HR At-Tirmidzi). Maksudnya orang yang suka memberikan pertolongan kepada anak yatim, nanti di surga akan berdekatan dengan Rasulullah SAW, seperti jari telunjuk dan tengah. Dalam Hadis lain dijelaskan juga (solidaritas) selain kepada anak yatim.
Bagi yang mampu melakukan aksi solidaritas tetapi tidak melaksanakannya, maka orang tersebut telah mendustakan agama seperti terungkap dalam firman Allah SWT : “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama ?. Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan barang berguna (tolong menolong). (QS. Al-Maauun : 1-7).
Dalam hal solidaritas juga, Rasululllah SAW telah membuat ilustrasi yang bagus sekali : « Perumpamaan orang-orang mumin dalam cinta dan kasih sayangnya seperti badan manusia, apabila salah satu anggota badan sakit maka seluruh anggota badan merasakannya ». (HR Al-Bukhari). Dalam redaksi lain ada tambahan yang berbunyi : « Allah akan menolong seseorang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya”. Solidaritas tidak hanya dalam perkara benda saja tetapi meliputi kasih sayang, perhatian, dan kebaikan lainnya. Agama Islam sangat menganjurkan pada solidaritas kebersamaan dan sangat anti yang berbau perpecahan, menghembuskan sipat permusuhan di masyarakat. Karena titik kekuatan suatu komunitas atau negara terletak pada solidaritas kebersamaan dan persatuan.















HUMANISME
Ide ”Islam Humanis” menjadi penting untuk didiskusikan kembali karena ”tamparan” hebat modernitas yang menggerus kepekaan kemanusiaan global. Dan juga disebabkan karena peran agama yang secara negatif telah disalahgunakan oleh penganutnya. Fenomena pengeboman dan aksi terorisme yang kian marak terjadi menambah rentetan derita kemanusiaan.
Wacana mengenai Islam dan humanisme menjadi penting untuk diperbincangkan kembali. Apakah Islam cenderung berlawanan dengan ajaran kemanusiaan? Bagaimana ada kemungkinan untuk membangun ruang dialog dalam upaya menghubungkan Islam dengan humanisme (ajaran kemanusiaan)? Upaya ini bertujuan untuk mengembangkan ajaran Islam agar lebih berwajah humanis dan berorientasi pada pemenuhan cita-cita kemanusiaan.
Jika kita perhatikan sebenarnya Islam tidak bertentangan dengan humanisme. Tugas besar Islam, sejatinya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya-budaya dengan nilai-nilai Islam. Kita mengenal trilogi ”iman-ilmu-amal” ; artinya iman berujung pada amal/aksi, atau tauhid itu harus diaktualisasikan dalam bentuk pembebasan manusia. Pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dalam penyataan Cak Nur (1995), pandangan hidup yang teosentris dapat dilihat dalam kegiatan keseharian yang antroposentris.

Dalam pandangan Kuntowijoyo (1991), Islam adalah sebuah humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Humanisme adalah nilai dasar Islam. Ia memberikan istilah dengan ”Humanisme Teosentris”, dengan pengertian ”Islam merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keimanan Tuhan, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia”.

Islam sangat menjunjung tinggi rasionalisme. Untuk menghubungkan Islam dengan persoalan kemanusiaan dan humanisme maka teks keagamaan harus didekati secara rasional. Berbeda dengan Humanisme Teosentris, yang masih berangkat pada ajaran normatif agama --dengan pengandaian sudah final-- ”Humanisme Teistik”, sebagai istilah baru, memandang bahwa persoalannya terletak pada teks agama. Bagaimana sikap kita memperlakukan teks agar sesuai dengan konteks kekinian dan kemaslahatan (maslahah).

M. Abed Al-Jabiri (1991) menyodorkan dua model pembacaan terhadap teks keagamaan (tradisi) agar sesuai dengan konteks kekinian, yaitu ”Obyektivisme” (maudlu’iyyah) dan ”Rasionalitas” (ma’quliyah). Langkahnya, Pertama, bagaimana menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan kekinian, tapi memisahkan terlebih dahulu dengan konteks yang ada agar didapati pemaknaan yang obyektif. Kedua, baru kemudian bagaimana memproyeksikan posisi obyektif itu dengan bagan rasionalitas yang relevan dengan masa kini.

Humanisme dalam Islam mengandung dua dimensi, yaitu ”rasionalitas” (rationality) dan ”pembebasan” (humanity). Dua dimensi ini harus melekat pada teks agama, yang perlu dicarikan pemaknaannya secara kontekstual. Benturan antara agama dan filsafat pernah didamaikan oleh Ibnu Rusyd, dalam tulisannya berjudul ”Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittisal”.
Bahkan Ibnu Rusyd menganjurkan penggunaan filsafat dalam memahami agama karena pendekatan ini akan sangat membantu dalam memahami agama. Rasionalitas inherent dalam makna teks, dan menjadi kebutuhan sejarah (historical necessity) saat ini.
Agama adalah untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Pengamalan kita dalam beragama, di samping sebagai bentuk penyembahan dan kepasrahan total kepada Tuhan (aslama, islam), juga diorientasikan untuk membebaskan manusia dari segala macam ketidakadilan, penindasan, dan kemiskinan. Agama adalah jalan bagi kemungkinan untuk meneguhkan kemanusiaan ditegakkan di muka bumi ini. Dan semuanya tergantung pada bagaimana manusia membumikan makna agama ke dalam wilayah praksis dengan berangkat dari rasionalisasi teks.














DAFTAR PUSTAKA
Al Qur'an Nur Karim
Mu’mun Murod Al-Barbasy. Dkk. (Ed.), Muhammadiyah – NU (Mendayung Ukhuwah di Tengah Perbedaan), Malang, UMM Press, 2004.
Samsu Rizal Panggabean, Islam dan Multikulturalisme (Ragam Manajemen Masyarakat Plural) dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural, Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005

0 komentar:

Posting Komentar

 

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan
earth
top down