Pages

Subscribe:
..:: "Welcome to La takhaf wala tahzan, thanks you for visit and don't forget to give your comment in this website " ::..
  • Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan
  • Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya
  • Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak.
  • Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak boleh mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari
  • Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya
  • Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat

Kamis, 09 Februari 2012

kumpulan tausiyyah


Kematian Hati
K.H. Rahmat 'Abdullah (Ketua Yayasan IQRO Bekasi)
Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi. Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya.

Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama.
Dingin, kering dan hampa,tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri. Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.

Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.

Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.
Asshiddiq Abu Bakar Ra. Selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidak tahuan mereka", ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana,lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidak-sesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang.

Mereka telah menukar kerja dengan kata. Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.

Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1.500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan.

Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu. Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat"? Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan "
Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat?" Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?

Sekarang kau telah jadi kader hebat. Tidak lagi malu-malu tampil. Justeru engkau akan dihadang tantangan : sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa. Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki.

Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.

Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?
Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua?"

Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka. Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya". Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "lihatlah, betapa Amerikanya aku". Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.

























Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwwah
K.H. Rahmat 'Abdullah (Ketua Yayasan IQRO Bekasi)
Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW : "Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai." (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).
Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).
Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah : "Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).
Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah
Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. "Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).
Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.
Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana. "Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah pengantinku tercinta", tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da’wah telah mengelupas. Kala itu jarang da’i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?" Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da’wati" : Isteriku atau da’wahku ?".
Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da’wah. Apa pantas sesudah da’wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da’wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da’wah tersebut sudah menikmati berkah da’wah.
Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da’wah. Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da’wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa’). Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11). Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da’wah". Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?". Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dak-wah. Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna bighoirihim".
Di Titik Lemah Ujian Datang
Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A’raf Ayat 163 : "Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka". Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian.
Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya sedang dibawah.
Seorang masyaikh da’wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rekannya untuk mulai aktif berda’wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda’wah, da’wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu saja", ujar Syaikh tersebut.Ternyata kita temukan kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan mereka". Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum’at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da’wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan me-nyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.
Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma’iyatullah
Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan menghalangi kewajiban da’wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak sendiri dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain yang tidak menghalangi aktifitas utama dalam da’wah? Tanyakan kepada pakarnya, aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas da’wahnya tidak berfikir perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da’wahnya atau keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan dari kekayaan ALLAH ?
Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan. Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan "Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang". Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda’wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika da’wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.
Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi popularitas, riya’ mungkin– dimasa ujian – akan menemukan orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun.Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya ‘selamat’ dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.
Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.
Seni Membuat Alasan
Perlu kehati-hatian – sesudah syukur – karena kita hidup di masyarakat Da’wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu. Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? "Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.
Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da’wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".
Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar
Kelengkapan Amal Jama’i tempat kita ‘menyumbangkan’ karya kecil kita, memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da’wah. "Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan : ‘Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur" (Qs. 49;17).
ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da’wah. Ini adalah karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu – karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna – menunggu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : "Nah, rasain !" Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah kebahagiaan ini?.
Saling mendo’akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : "Untukmu pun hak seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fi'Llah.
Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.













































Shalawat atas Nabi SAW
K.H. Rahmat 'Abdullah (Ketua Yayasan IQRO Bekasi)
Apa yang Tuan pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak ada seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri.
Ia produk ta'dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan adzan.

Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah. Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.
Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya menjadi manja dan hilang kemandirian. Saat bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan: "Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri kamu biarkan dia dan apabila yang mencuri itu rakyat jelata mereka tegakkan hukum atas-nya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya."

Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk -- lebih dari satu dua kali -- berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Ash-Shiddiq, sesuai dengan namanya "si Benar". Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para shahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: "Labbaik".
Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai "orang rumah".

Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia.
"Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang yang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku." "Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina," demikian pesannya.

Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau di panglimai shahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Qur'an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua pertempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.

Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah.
Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para shahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka: "Jangan. Biarkan ia menyelesaikan hajatnya." Sang Badui terkagum. Ia mengangkat tangannya, "Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami." Dengan senyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.

Ia kerap bercengkerama dengan para shahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka; yang merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kamu miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit di ujung Madinah. Ia terima permohonan ma'af orang.

Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum shahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah shahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh. Ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia sholat, ia cepat selesaikan sholatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.

Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: "Seandainya ada seorang shalih mau mengawalku malam ini." Dengan kesadaran dan cinta, beberapa shahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para shahabat bergegas ke arah sumber suara.
Ternyata Ia telah ada di sana mendahului mereka, tagak di atas kuda tanpa pelana. "Tenang, hanya angin gurun," hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.

Ummul Mukminin Aisyah Ra. Berkata : "Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang dimakan makhluk hidup, selain setengah ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum."

Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat seerhana dan pakaian tak lebih dari 4 dirham, seraya berkata,"Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum'ah." Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.

Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucapkan shalawat atasnya: "Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat do'a yang takkan ditolak dan aku
menyimpannya untuk ummatku kelak di padang Mahsyar nanti."

Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit. Ia menolak, "Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan dari sulbi mereka kelak akan menerima da'wah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun."

Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran juwanya. Pertama, Allah, Sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, shahabat yang membenci, dan
khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.

Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia dan para malaikat bershalawat atasnya (QS 33:56 ), justru Ia nyatakan dengan begitu "vulgar" perintah tersebut, "Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam."
Allahumma shalli 'alaihi wa'ala aalih !






Hakikat Pergantian Tahun Baru
K.H. Rahmat 'Abdullah (Ketua Yayasan IQRO Bekasi)
Jika kita merenungi peristiwa pergantian tahun dan perhitungan waktu, terdapat perbedaan sangat mencolok antara manusia dan makhluk lainnya. Dengan akal yang Allah berikan mereka menghitung pergerakan benda-benda angkasa yang tertib dan pasti. Dengan naluri ingin tahu yang Allah tanamkan, mereka menjelajah tanpa lelah. Kepastian gerak dan ketertiban pola edar tata surya mengilhami mereka untuk dapat membuat catatan waktu, sejarah, dan peristiwa. Muncullah kalender atau almanak (Arab: almanakh, almunakh, artinya musim, iklim, cuaca). Ada kronometer, dari jam pasir, jam bayang-bayang sampai jam quartz dan kinetik.

Kemudian sesuatu berubah. Mereka membanggakan catatan prasejarah yang mereka bikin-bikin sampai zaman kini. Orang berbangga dengan apa yang mereka sebut pertambahan umur dalam ulang tahun, walaupun sebenarnya yang terjadi adalah perkurangan umur. Secara umum orang merayakan tahun baru Masehi, 1 Januari-sebuah kebiasaan kaum Nasrani yang di abad-abad lalu menjajah negeri-negeri Muslim. Bahkan secara resmi juga presiden mengumumkan pergantian tahun (orang Jayakarta (Jakarta) menyebutnya Tahun Baru Blande).

Bagi seorang Muslim yang baik, bukan pergantian tahun itu yang penting, tetapi per-gantian malam dan siang. Allah menjadikannya sebagai tanda kekuasaannya. Me-renunginya berarti memenuhi sebagian sifat ulil albab dan hamba yang bersyukur (QS. 3;190-191/25;62). "Ia yang menjadikan malam dan siang silih berganti, bagi orang-orang yang ingin mengambil pelajaran atau ingin bersyukur".

Dulu orang membanggakan kaum sufi sebagai 'putra harinya'. Sudah seharusnya tiap orang menjadi putra harinya, bahkan putra jamnya, menit, dan detiknya. Artinya ia selalu mengaktualisasi dirinya bukan pada musim-musim tahunan atau momentum-momentum, tetapi pada setiap saat dalam kehidupannya serta menjalaninya dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab.

Terkadang kita sukar memahami gaya hidup orang lain, sebagaimana mereka pun susah memahami gaya hidup kita. Kita tidak mengerti mengapa mereka memakai busana minim, yang dalam sejarahnya adalah busana perempuan nakal. Mereka pergi ke pesta-pesta pekanan atau ulang tahun dengan wangian kelas mahal dan mobil mewah tanpa merasa minder bahwa semua itu pinjaman dari ortu. Bagaimana kalau itu hasil KKN? Siapa sih yang nyuruh tiup lilin? Kalau tidak, bagaimana akibatnya? Mengapa harus pergi berpasang-pasangan? Mengapa itu disebut modern? Apakah dengan pesta liar yang dianggap modern itu mereka langsung bisa bikin satelit, komputer, robot, dan memecahkan masalah-masalah iptek?
Evaluasi diri tahun yang lalu
Konon, di antara bahan 'penyesalan' orang-orang saleh di hari kiamat adalah adanya waktu kosong dalam kehidupan mereka. Tentu saja, mereka tidak mengisinya dengan maksiat. Namun, melihat betapa keberuntungan besar yang disediakan bagi mereka yang memanfaatkan seluruh hidup untuk kepentingan ibadah, jelas 'penyesalan' itu menjadi wajar.

Bagaimana Rasulullah SAW. memanfaatkan waktunya secara efisien? Bayangkan, sepanjang sembilan tahun di Madinah, kaum Quraisy melancarkan tak kurang dari 62 kali gempuran besar dan kecil. 27 ghazwah, pertempuran menghadapi mereka yang dipimpinnya langsung. 35 kali sariyah, yang dipimpin para kader sahabat. Artinya, bila ada kata jeda mungkin hanya satu sampai satu setengah bulan. Banyak hadis sahih menginformasikan Rasulullah masih sempat berlomba jalan dengan istrinya. Ada saatnya beliau merangkak dengan anak-anak bermain ceria dipunggungnya. Ada saatnya beliau bercengkerama dengan rakyat jelata. Ini di luar aktivitas memimpin persidangan politik, persidangan kasus-kasus rumah tangga, kriminal, perdata, menyiapkan para calon hakim, diplomat, guru, ulama, tentara, ahli syura, dll.

Banyak orang hidup dengan usia panjang, kadang seratus tahun. Namun, biografinya ditulis cukup dalam tiga baris: "Bapak Fulan, lahir tanggal sekian, wafat tanggal se-kian". Terukir apik di batu nisan. Sebaliknya Rasulullah SAW dengan usia 63 tahun qamariyah, sampai sekarang kajian tentang beliau masih terus berlanjut, dari berbagai aspek kehidupan dan kepemimpinannya.

Kenyataan ini menuntut kita untuk mengaudit diri setiap hari: bagaimana caranya agar modal usia yang sudah dijatah tidak terjadi defisit, bahkan sebaliknya, dan keuntungan besar yang selalu diperoleh. Ini memang sulit, karena hal yang sering kali dihindari adalah menghitung diri sendiri. Memang getir rasanya melihat kesalahan-kesalahan diri, tetapi semua ini harus dilakukan. Dan camkanlah dalam hati untuk satu hal ini: bahwa dalam pesta ulang tahun atau dalam perhitungan usia, ada pengelabuan setan. Sesungguhnya bukan umur yang bertambah, melainkan jumlah yang sudah dilewati. Jatah sisa-nya semakin berkurang.
Menyikapi hedonisme remaja masa kini
Salah jika menganggap remaja saja yang doyan hura-hura. Semua dimulai dari biangnya: bapak dan ibu. Kondisi semacam ini tampaknya sudah terkonsep, dari sikap keseharian sampai cara penyambutan tahun baru, semua mencerminkan dangkalnya nilai-nilai akidah sebagian besar umat.

Semua ini memang telah didesain dengan rapi. Dengarlah khotbah sanjungan dan ucapan terima kasih atas nama gereja yang disampaikan oleh pendeta Dr. Zwemmer di bukit Zaitun tahun 1935. Ia menekankan hal yang lebih penting daripada menyebarkan Bibel, yaitu memunculkan generasi umat Islam yang:
a. tak mengenal Islam
b. tidak bangga dengan Islam
c. terputus dengan sejarah dan keagungan masa lalu pendahulu mereka
d. hidup santai, hura-hura, serba boleh
e. kalau tidak pindah agama, juga tidak bermutu dalam Islam
f. lemah dan akhirnya mudah dikuasai dan didikte

Hal yang sama bisa kita lihat dalam dokumen Protokolat Hukama' Yahudi yang berisi sejumlah rencana busuk mereka terhadap umat Islam.
Menjadi remaja seutuhnya
Tidak adil menyalahkan remaja secara keseluruhan. Mereka hanyalah produk yang la-hir dan tumbuh dalam suatu iklim. Generasi yang lemah, manja dan punya ketergan-tungan tinggi, lahir dan dibesarkan dalam gelimang utang luar negeri yang mencekik leher, mengundang korupsi dan menjerat umat pada jaring-jaring rentenir mancane-gara. Sejarah telah membuktikan bahwa lingkungan dan keluarga adalah tempat terbaik pulangnya remaja mengadukan keluh dan mencari jawaban bagi persoalan-persoalannya.

Remaja yang bertanggung jawab akan sangat prihatin melihat angka empat juta dalam kasus narkoba. Ia akan menjaga dengan sungguh-sungguh dirinya dan rekan-rekannya untuk tidak menambah jumlah itu. Ia tahu di bahunya dipercayakan nasib umat dan bangsa ini. Ia sadar memegang amanah kepercayaan, harapan, biaya pendidikan dan tunjangan orang tuanya. Ia memilih pahit daripada berkhianat kepada akidahnya. Di era kebangkitan ia harus punya target mengenal Islam secara benar, ikut dakwah secara proporsional, dan berprestasi sebagaimana layaknya seorang remaja.
Target-target setahun ke depan
Mungkin sangat klise untuk mengatakan: tampil ke depan meraih sukses. Coba duduklah dengan tenang, bayangkan ratusan ribu kader dari kelompok pemikiran yang tidak punya komitmen dengan Islam dan dakwah Islam, bahkan tidak dengan kepentingan bangsanya. Dengan terjun bebas atau dengan beasiswa, mereka berhasil mereguk ilmu sepuas-puasnya dan menduduki posisi-posisi kunci di negeri ini. Kepada siapa tanah air ini akan diserahkan? Sukses tidak selalu ditandai dengan NEM tinggi, karena remaja mungkin berprofesi sebagai pelajar atau putus sekolah karena sebab-sebab tertentu. Intinya kemandirian dan kesiapan menghadapi hari esok.

Bila duduk di kelas tertinggi, konsentrasinya pada sukses belajar. Itu cukup sebagai bahasa fakta bagi dakwah yang cerdas dan memberdayakan, agar tidak ada lagi orang berceloteh tentang aktivis yang selalu gagal dalam studi. Bila berada di kelas pertama atau kedua, harus dirancang agar menghasilkan kontribusi yang jelas, terencana, dan terproyeksi


Bulan Ramadhan : Stasiun Besar Musafir Iman
K.H. Rahmat 'Abdullah (Ketua Yayasan IQRO Bekasi)
Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun – dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH – menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala. Kini – di bulan ini – ia jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan – diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan ‘ular harta’ yang membelitnya. Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.
Marhaban ya Syahra Ramadlan
Marhaban Syahra’ Shiyami
Marhaban ya Syahra Ramadlan
Marhaban Syahra’l Qiyami
Keqariban di Tengah Keghariban
Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya: "Ya Rasul ALLAH, dekatkah Tuhan kita, sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-Nya?" Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika ‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka persetankan. Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat, dan seterusnya. padahal mereka masih berpijak di bumi-Nya.
Betapa menyedihkan, kader yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-Nya. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikut, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.
Semua ayat dari 183-187 surat Al-Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit untuk mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah): ‘Sesungguhnya Aku ini dekat…" (Qs. 2 :185).
Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban ini? Mereka jadi pan-dai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa meni sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung ke bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukang tiru yang rakus.
Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang po-hon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi negara, bisniskan hukum, jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa status bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi bandit?
Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?
Nuzul Qur-an di Hira, Nuzul di Hati
Ketika pertama kali Alqur-an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh ma-nusia. Ia menjadi petunjuk yang sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perin-tah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalahkan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang berfikir, malam qadar itu selesai sudah, karena ALLAH menyatakannya dengan Anzalna-hu (kami telah menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Ma-laikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah Malaikat dan Ruh), dengan kata kerja permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, mu-nafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang di kawasan?
Jadi ketika Ramadlan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahagianya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Alqur-an di hati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badan pun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan bagi setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah kterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan di puncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ialah ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!
Alqur-an dulu, baru yang lain
Bacalah Alqur-an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscaya Islam itu terasa ni’mat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Alqur-an membentuk frame berfikir. Alqur-an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolok ukur keadilan, kewajaran dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh dan aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi ummat.
Betapa da’wah Alqur-an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan di jantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di garis depan, jauh sejak awal sejarah ummat ini bermula. Bila Rasulullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur-annya. Bila me-nyusun komposisi pasukan, diletakkannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan di masa awal sekali, ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan ‘Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukuli musyrikin kota Makkah.
Puasa: Da’wah, tarbiah, jihad dan disiplin
Orang yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus, atau menahan semua pembatal lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Mu-suh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan di te-ngah badai takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang.
Mereka terbiasa memburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).
Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.
Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg menunggu jawaban serius.






























Buah Mengimani Hari Akhir
K.H. Rahmat 'Abdullah (Ketua Yayasan IQRO Bekasi)
Iman terhadap hari akhir (kiamat) secara khusus diulang-ulang, baik dalam Alquran maupun Hadis. Kerap penyebutan itu terkait dengan penguatan komitmen untuk melaksanakan sesuatu atau untuk meninggalkan sesuatu. ''... jika berselisih tentang sesuatu, hendaklah kalian kembalikan itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir... (Qs 4:59).

Penyebutan Iman kepada Allah dan hari akhir, efektif bagi mereka yang percaya kepada Allah, Pencipta segala sesuatu dari tiada dan percaya kepada hari akhir, saat tidak ada waktu undur, tidak ada lagi sogok dan suap. Tidak ada lagi press release pemulas citra buruk. ''Hari ini Kami tutup mulut mereka, dan yang berbicara kepada Kami adalah tangan-tangan mereka dan yang bersaksi adalah kaki-kaki mereka atas segala yang mereka kerjakan.'' (Qs 36:65). Karenanya, rangkaian amal terkait jenazah bukan hanya berdampak sosial, tetapi juga moral-spiritual.
Alquran berulang-ulang mengantar harapan Rasulullah saw dan para sahabat jauh ke depan, bahwa kemenangan sejati akan mereka capai di akhirat nanti.

Dengan iman terhadap hari akhir, seorang pejuang tidak kenal putus asa. Apa dan berapa saja pengorbanan di jalan Allah, ia sangat yakin akan catatan dan ganjarannya. Bahkan, Alquran melarang mengatakan mujahid yang syahid di jalan Allah sebagai mati karena mereka memang hidup (QS 2:154/ 3:169).

Demikianlah para rasul dan para pengikut tidak merasakan kepedihan dalam perjuangan. Kalau wajah seorang Yusuf AS, remaja yang tampan, telah membuat perempuan-perempuan di Mesir mengiris-iris jari-jari mereka tanpa sadar, betapa keindahan surga dan kepastian janji Allah telah membuat para pejuang di jalan-Nya sama sekali tidak merasa rugi, kalah atau sia-sia. Sebaliknya, mereka yang menzalimi diri sendiri atau sesama harus segera ingat bahwa ada batas usia bagi kehidupan dan ada persidangan yang adil. Sesudah itu kebahagiaan atau kesengsaraan abadi.

Iman terhadap hari akhir menyuburkan sikap tanggung jawab. Mereka yang dipuji-Nya sebagai orang-orang yang ''... pagi dan petang bertasbih di rumah-rumah Allah'' adalah orang-orang yang tidak terlalaikan oleh aktivitas perdagangan dan jual beli, dari mengingat Allah, menegakkan shalat dan menunaikan shalat, ''Karena mereka takut akan hari saat berguncang-guncangnya hati dan penglihatan... (Qs 24:37)
Iman ini juga menghasilkan, memelihara, dan meningkatkan keikhlasan, keteguhan, dan semangat juang. Keberanian, kesungguhan dan optimisme adalah ciri khas mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

'Sesungguhnya yang akan memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat serta tidak takut kepada siapa pun selain Allah ....'' (QS 9:18). Penyiksaan terhadap keluarga Yasir RA sangat brutal, khususnya pembunuhan Sumayah, istri Yasir. Tak ada lagi yang dapat dilakukan selain berdoa dan berharap. Keluarlah kata bersayap Rasulullah, ''Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, tempat kalian berjumpa (esok) di surga.''

Sangat menyentuh dan membuat gairah takwa saat membaca atau mendengar ayat-ayat Hari Akhir, ''Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.''
(Addzariyat: 14-19).



Totalitas Hidup Seorang Muslim
Al-Ustadz DR. Ahzami Sami'un Jazuli, MA, LC

Alhamdulillahirobbil'alaimin,

"Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang  (Yahudi dan Nasrani)  yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian dari mereka pun tidak mengikuti kiblat sebagianyang lain. Dan sesungguhnya  jika  kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim".(QS. 2:145)
Ayat ini menjelaskan tentang pengingkaran ahli kitab untuk mengikuti kiblatnya kaum muslimin.
Kalau kita perhatikan pada ayat lain, sebenarnya Ahli Kitab ini jelas-jelas mengenal Rasulillah SAW. Allah SWT berfirman :
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendirir.
Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. 2:146).

Ayat 146 dari Qs. Al-Baqoroh menggambarkan bahwa pengenalan Ahli Kitab kepada Rasulullah Muhammad SAW itu sebagaimana mereka mengenal anaknya sendiri. Jadi sangat kenal. Namun demikian, ketika Rasulullah Muhammad SAW di utus kepada seluruh manusia, mereka seolah-olah tidak tahu. Mereka mengingkarinya. Mereka tidak mau mengikutinya.

Ahli Kitab mengetahui tentang  kebenaran kerasulan Muhammad SAW, bahwa beliau benar-benar utusan Allah. Tetapi mereka tidak mengakui kiblatnya,tidak mengakui kebenarannya, tidak mengikuti jalan hidupnya, seperti yang tercantum pada awal ayat ini :
"Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang  (Yahudi dan Nasrani)  yang   diberi Al-Kitab   (Taurat dan Injil),  semua  ayat  (keterangan), mereka  tidak akan mengikuti kiblatmu..."

Mengapa Ahli kitab mengingkari kerasulan Muhammad padahal mereka mengetahui bahwa perilakunya itu salah ? Mereka melakukan itu karena tidak bisa lepas dari hawa nafsunya ('adamu tajrid 'anil hawa). Ketika totalitas hidupnya tidak diserahkan kepada Allah, walaupun dia tahu tentang suatu kebenaran,dia tidak mau mengikutinya. Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) ini tahu bahwa Rasulullah SAW itu utusan Allah, jelas dalam kitab mereka diterangkan hal tersebut.

Mengukur seseorang dari pengetahuannya semata tidak cukup. Buktinya adalah Yahudi dan Nasrani tahu dan mengenal tentang Muhammad, tetapi mereka tidak beriman kepada Rasulullah SAW. Keimanan mereka kepada Allah patut diragukan. Imannya kepada Allah tidak total sehingga ketika Allah menentukan Muhammad yang dipilih sebagai Rasulnya, mereka tidak bisa menerima. Mereka  tidak bisa melepaskan dirinya dari hawa nafsunya, dari kepentingannya. Hawa nafsu mereka menginginkan agar Allah menunjuk Rasul dari golongannya. Mereka hanya mentaati Allah jika sesuai dengan hawa nafsunya.

Sikap Ahli kitab ini merupakan pelajaran bagi kita untuk senantiasa mengingatkan diri kita dan masyarakat kita agar tidak menjadikan tingginya ilmu yang dimiliki oleh seseorang sebagai standar ketinggian derajat seseorang atau suatu kaum. Fenomena ahli kitab ini adalah fenomena tentang lapisan masyarakat yang terpelajar yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan. Banyak ummat Islam yang tahu bahwa sesuatu itu halal, atau haram, tetapi mereka melanggarnya. Mereka masih berbuat maksiyat. Mereka belum bisa melepaskan seluruh pengaruh hawa nafsunya.

Bukankah orang yang minum minuman keras itu pada umumnya mereka tahu kalau minum minuman keras itu haram ? Mereka tahu. Tetapi mereka melanggarnya.Hawa nafsu telah mendominasi dirinya. Orang yang korupsi atau kolusi, bukankah mereka terpelajar yang mengetahui bahwa korupsi dan kolusi itu termasuk kema'siyatan ?. Ketika mereka masih jadi pelajar atau mahasiswa mungkin ikut dalam demonstrasi anti korupsi atau kolusi. Tetapi ketika dia yang berkesempatan untuk melakukan korupsi dan kolusi, mereka melakukannya juga. Ini semua bukan berarti dia tidak tahu yang halal dan yang haram, akan tetapi hawa nafsu dan kepentingan berperan sangat dominan pada dirinya.
Berdakwah kepada orang-orang yang sudah pernah belajar Islam kadang-kadang lebih sulit daripada yang sama sekali belum pernah belajar Islam. Orang yang pernah belajar Islam, baik di Pesantren, di Perguruan Tinggi, atau di tempat lain, mereka merasa seolah-olah ilmu yang didapatkannya telah cukup baginya untuk selamat dari adzab Allah. Kalau diingatkan ketika dia berbuat ma'siyat, merasa lebih pintar daripada yang mendakwahi. Orang-orang yang mempunyai pandangan semacam ini sulit untuk menerima kebenaran yang dikemukakan orang lain.

Ketika  menghadapi orang yang demikian, kita disuruh berjidal atau berdebat seperti kata Allah dalam surat An-Nahl ayat 125:  "Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk" (Qs.An-Nahl 125)

Ahli tafsir mengatakan bahwa berdakwah dengan wajadilhum billati hiya ahsan itu ditujukan kepada ahli kitab dan orang-orang yang berilmu tetapi mereka tidak mau mengikuti kebenaran Islam. Kenapa kita tidak disuruh menda'wahi mereka dengan nasehat? Karena nasehat sangat tepat jika ditujukan kepada orang yang tidak tahu. Memang benar bahwa nasehat itu untuk semua manusia, tetapi nasehat akan mudah diterima bagi orang yang memang tidak tahu. Bagi orang yang sudah tahu tentang sesuatu tetapi dia tidak mau mengamalkan kebenaran yang diketahuinya, kita harus berda'wah kepadanya dengan berjidal dengan cara yang  ahsan.

Ketika Ahli Kitab tidak mau mengikuti Rasulullah SAW, apa sikap beliau ? Apa beliau harus mengalah ? Ternyata tidak. Allah mengatakan (dan tidaklah kamu mengikuti kiblat mereka).
Dalam ilmu lughoh, kalimat itu disebut jumlatul ismiyat  yang bermakna tetap eksis dan kontinyu. Ini mengandung arti bahwa dalam hal apapun jangan sekali-kali kita mengikuti kiblatnya Ahli Kitab. Dan ini berlaku untuk selama-lamanya.
Pesan Allah ini pada realitanya belum kita laksanakan dengan baik. Sistem ekonomi kita meniru mereka, sistem politik juga meniru mereka dan sistem pendidikan juga demikian. Sisi yang lainnya dalam hidup kita juga banyak meniru mereka.

Dalam bidang pendidikan misalnya, sistem pendidikan kita banyak diwarnai dengan ikthilat. Padahal jika kita bicara tentang sistem pendidikan Islam yang diterapkan dari jaman Rasul sampai jaman generasi yang menjadikan Islam sebagai petunjuk hidupnya, tidak ada sekolah yang memperbolehkan ikhtilat, yang mencampurkan antara laki-laki dan perempuan. Ada yang mengatakan bahwa itu dilakukan dengan alasan darurat. Mereka berpikiran jika antara laki-laki dan perempuan dipisah, nanti gurunya banyak, lalu menggajinya dari mana ? Padahal sesuatu yang darurat itu ada batasnya. Tidak bisa sampai mati masih menggunakan alasan darurat. Dalam aturan Islam, ketika kita diperbolehkan makan bangkai karena kita lapar, setelah kita makan dan sudah cukup menghilangkan lapar, kita tidak diperbolehkan meneruskan makan dengan alasan darurat.
Ummat Islam yang tidak memahami ayat semacam ini sangat mudah terjebak mengikuti cara hidup Ahli Kitab. Padahal jelas-jelas Allah mengatakan (janganlah kalian mengikuti kiblat mereka). Penegasan Allah ini tidak kebetulan. Bukan berarti kalau suatu saat kita menganggap bahwa kondisinya lain, kita boleh mengikuti mereka. Tidak ada begitu.
Sebaliknya Allah mengatakan (sebagian mereka tidak mau mengikuti sebagian yang lain). Yahudi dan Nasrani pada dasarnya selalu ribut, hanya kita saja yang tidak mengetahui. Sebenarnya kepentingan-kepentingan Yahudi dan Nasrani sering bertabrakan. Dalam melakukan lobi-lobi di Amerika misalnya, mereka selalu "cakar-cakaran". Demikian pula dalam banyak hal lainnya.Tetapi ketika menghadapi Islam mereka bersatu.

Selanjutnya Allah mengatakan :
 "...Dan  sesungguhnya  jika  kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu yaitu Al-Qur'an, Al-Islam, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim..."
Rasulullah SAW saja kalau mengikuti selera Ahli Kitab termasuk orang yang dholim, apalagi kita yang tidak ada hubungan darah dengan Rasulullah SAW. Dalam Islam tidak ada basa-basi. Siapapun yang menentang ajaran Allah, dia adalah dholim. Ini pernyataan yang tegas dari Allah yang harus kita taati. Kita jangan suka berstrategi untuk menyiasati aturan Allah ini. Kita tidak usah takut manusia akan lari jika kita mentaati aturan Allah ini. Jangan sampai kita mengatakan "Pak, mereka tidak mau ikut kalau kita begitu....

Pak, kalau kita tidak begini nanti tidak diterima masyarakat". Dakwah ini harus dilakukan dengan mengikuti jalan Allah, bukan untuk mengikuti selera masyarakat. Memang boleh kita mempertimbangkan sesuatu untuk kemashlahatan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Allah SWT. Kita sekarang ini terlalu banyak membuat kebijakan-kebijakan tanpa memperhatikan dasar-dasar 'aqidah yang digariskan Allah. Mungkin kita khawatir jika selalu berpegang pada prinsip yang digariskan Allah malah sulit diterima masyarakat. Kekhawatiran ini tidak berdasar. Rasulullah SAW juga ketika berdakwah, awalnya memang tidak diterima masyarakat. Tetapi beliau tetap berpegang pada prinsip yang digariskan Allah. Dan hasil yang dicapai Rasulullah dengan izin Allah sedemikian menakjubkan.

Ini menegaskan agar nilai yang kita anut harus tetap. Nilai yang kita pegang itu adalah ajaran Allah SWT, bukan selera masyarakat. Ketika Allah menurunkan jumlatul ismiyat ini tidak kebetulan, tetapi Allah memilih dengan hikmah, supaya ummat Islam jangan sedikitpun mengikuti jalan yang dibentangkan oleh Yahudi dan Nasrani. Ketika Umar bin Khothob r.a menjadi kholifah, beliau berusaha merapikan masalah ketatanegaraan (bukan berarti sebelumnya tidak rapi, tetapi sebelumnya belum sempurna sehingga perlu disempurnakan). Untuk itu beliau membutuhkan orang-orang yang ahli dalam tata negara.  Ketika itu Gubernurnya menawarkan seorang kristen yang ahli tata negara untuk bekerja di iddaroh (di kantor kenegaraan). Apa kata Umar bin Khothob ? Apa beliau mengatakan "Wah Anda baik, Anda betul-betul bisa mencari orang yang kita butuhkan, karena pada tahun-tahun ini kita butuh ahli semacam ini".  Ternyata Umar tidak mengatakan demikian tetapi beliau malah berkata: "Untuk apa kita menerima orang Kristen, apakah kalau orang kristen itu mati,  kita tidak lagi bekerja ? Saya tidak mau menerima semua ini". Begitu kata Umar. Padahal orang kristen itu benar-benar ahli dalam bidang yang sedang dibutuhkan negara. Itupun Umar bin Khothob menolaknya. Betapa Umar betul-betul memahami dan mengamalkan isi ayat ini. Tidak mungkin orang-orang kafir itu  bekerja tanpa pamrih. Pasti dia mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Mana ada orang kafir yang ketika bekerja dia tidak mencari posisi untuk mendakwahkan agamanya ?

Thobi'atul ma'rokat (karakter peperangan) antara haq dan bathil itu tidak pernah selesai. Ketika al-haq eksis, al-bathil tidak akan merasa aman, merasa terganggu. Mereka pasti bergerak.
Jika ada orang beriman yang tidak berda'wah, berarti dia tidak mengetahui thobi'atul haq (hakekat kebenaran). Cacing yang hidup di tempat kotor, jika kita pegang untuk kita pindah pada air yang bersih, dia menolak. Ketika kita masukkan cacing tersebut ke dalam air kolam yang bersih dia tidak betah, karena sudah biasa di tempat yang kotor. Kehidupan cacing ini contoh bagi kita. Kita mengajak mereka (orang-orang yang kotor itu) supaya dia bersih dari dosa, supaya dia baik. Tetapi ketika kita tarik kepada sesuatu yang bersih, dia bergerak, dia menggeliat dan melawan. Dia lebih suka tetap mempertahankan eksistensi kebathilannya. Inilah pelajaran berharga dari Allah yang harus kita perhatikan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan
earth
top down