Pages

Subscribe:
..:: "Welcome to La takhaf wala tahzan, thanks you for visit and don't forget to give your comment in this website " ::..
  • Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan
  • Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya
  • Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak.
  • Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak boleh mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari
  • Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya
  • Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat

Rabu, 12 Desember 2012

Al jarh wa At Ta'dil



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kehidupan bukanlah taman untuk bersenang-senang, kehidupan bukanlah hiasan bintang-bitang untuk kita selalu menatapnya, namun kehidupan adalah jalan yang selalu dihadapkan pada sebuah hambatan dan rintangan.
Oleh karena itu dalam hidup butuh sebuah petunjuk agar kita selamat sampai tujuan. Dalah hidup ini pasti butuh bahtera untuk menyusuri samudra, yakni samudra yang penuh badai, sekaligus ombak yang selalu menghempas.
Itulah sebuah jalan yang penuh liku dan tantangan, sehingga dalam  hidup kita sangat membutuhkan pedoman sebagai sebuah peta kebenaran. Dan sudah jelas di dalam Islam bahwa ketika seseorang di dunia menginginkan selamat, menginginkan jalannya selalu pada batas-batas kebenaran  maka salah satu modal dan penentunya adalah Al-Hadist yang merupakan penuntun jalan kebenaran, jalannya para Salafus – Sholih.
Namun  ada yang perlu diingat oleh setuiap Umat Muslim agar tidak secara spontan menerapkan hadist yang mereka terima tampa adanya sebuah pemikiran kritis dan rasional tentang subtansi hadist itu sendiri. Karena tidak semua hadist dapat secara langsung kita aktualisasikan ke alam nyata tanpa mengintip apakah hadist tersebut sudah dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya.
Maka dari  itu, sangatlah penting kiranya kita membahas dan mendalami “Ilmu Jarh At-Ta’dil” sebagai sebuah gerbang pengetahuan untuk melihat mana hadist yang shahih dan mana hadist yang dhaif apalagi yang maudhu’. Dan karena didalamnya membahas tentang para Rawi, baik Rawi yang dhabit atau rawi yang cacat.

B.     Rumusan  Masalah
1)      Apakah Pengertian Ilmu Jarh At-Ta’dil ?
2)      Apa saja kegunaan Ilmu Jarh At-Ta’dil ?
3)      Apa saja tingkatan-tingkatan lafadz ta’dil ?
C.    Maksud dan Tujuan
1)      Mengetahui secara mendalam tentang Ilmu Jarh At-Ta’dil !
2)      Mengetahui manfaat atau kegunaan Ilmu Jarh At-Ta’dil !
3)      Membedakan perawi yang dhabit dan perawi yang cacat !
4)      Pembuka cakrawala ilmu hadist !

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil, pada hakikatnya merupakan suatu bagian dari Ilmu Rijalil Hadist. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Ilmu Jarh, yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat. Adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan  dan kedhabitannya.  Sedangkan Ahli Hadist mendifinisikan Al-Jarh dengan :
“Kecacatan pada perawi hadist disebabkan oleh suatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi.”
Sedangkan At-Ta’dil yang secara bahasa berarti At-Tasywiyah (menyamakan). Menurut istilah berarti:
“Lawan dari Al-Jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dhabit”
“Ulama’ lain mendifinisikan Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam satu difinisi yaitu :
“Ilmu yang membahas tentang para perawi hadist dari segi yang dapat menunjukkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafadz tertentu”.
Contoh, ungkapan tertentu untuk mengetahui para perawi, antara lain : "فلان اوثق الناس" (Fulan orang yang paling dipercaya), “فلان ضابط(fulan kuat hafalannya), dan فلان حجة” (Fulan hujjah)
Sedangkan contoh untuk mengetahui kecacatan para rawi, antara lain : “فلان  اكذب الناس” (Fulan orang yang peling berdusta), “فلان منهم بالكذب” (si fulan tertuduh dusta), فلان لاحجة” (fulan bukan hujjah).
Mencatat para perawi (yakni menerangkan keadaannya  yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman Sahabat.
Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqoddimah Kitab Al-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman Sahabat, diantara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadist ialah Ibnu Abbas (34 H), dan Anas Ibnu Malik (93 H).
Diantara para Tabi’in ialah Asy-Syabi (103 H), Ibnu Sirin (110 H), Syaid Ibnu Al-Musayyab (94 H). Dalam masa mereka itu masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijriah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena me-rafa-kan hadist yang sebenarnya mauquf, dan adakalanya karena beberapa kesalehan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun Al-Abdari (143 H) .
Sesudah berakhir masa Tabi’in, yaitu pada kira-kira tahun 150 H, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan para perawi, menakdil dan menajrihkan mereka. Diantara ulama besar yang memberikan perhatian pada uraian ini ialah Yahya Ibnu Said Al-Qattan (189 H), Abdurrahman Ibnu Maholi (198 H), sesudah itu Yazid Ibnu Harun (189 H), Abu Pawel At-Tahyalisi (204 H), Abdur Razaq Ibnu Human (211 H). sesudah itu barulah para ahli menyusun kitab-kitab Jarah dan Takdil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
Diantara pemuka-pemuka Jarah dan Takdil ialah Yahya Ibnu Main (233 H), Ahmad Ibnu Hambal (241 H), Muhammad Ibnu Saad (230 H) , Ali Ibnu Madini (234 H), Abu bakar Ibnu Syaibah (235 H), Ishaq Ibnu Rahawiyah (237 H), sesudah itu Ad-Darimi (255 H), Al-Bukhori (256 H), Al-Jazali (261 H), Muslim (251 H) Abu Zaroh (264 H), Baqi Ibnu Makhlud (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H).
Kemudian pada tiap-tiap masa terdepat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi hingga sampai pada Ibnu Hajar Asqolani (852 H).
Kitab-kitap yang disusun mengenai Jarah dan Takdil. Ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang menadliskan hadist. Dan ada pula yang melengkapi semuanya, disamping itu ada yang menerangkan perawi-perawi suatu kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.
Diantara kitab yang melengkapi semua itu adalah : Kitab Tabaqot Muhammad Ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (230 H), kitab ini sangat besar. Didalamnya terdapat nama-nama Sahabat, nama-nama Tabi’in dan orang-orang sesudahnya kemudian bersahapula beberapa ulma besar lain, diantaranya Ali Ibnu Madini (234), Al-Bukhori, Muslim, Al-Hariwi (301 H) dan Ibnu Hasim (327 H) dan yang sangat berguna bagi ahli Hadist dan Fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam Ibnu Katsir.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercai saja ialah kitab As-Siqat karangan Al-Ajaly (261 H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hasim Ibnu Hibban Al-Busty. Masih dalam bagian ini adalah kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal , banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, diantaranya Az-Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqolani dan As-Sayuti.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja ialah : kitab Ad-Duafa karangan Al-Bukhori dan kitab Ad-Duafa   karangan Ibnu Jauzi (587 H).

B.     Kegunaan Ilmu Al-Jarh At-Ta’dili
Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil ini dipergunakan untuk menerapkan apakah periwayatan seorang rawi bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seseorang rawi “Al-Jarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadistnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup perbuatan bid’ah. Yakni melakukan tindakan tercela atau diluar ketentuan syariah; mukholafah, yakni berbeda dengan periwayatan dengan periwayatan dari rawi yang lebih Asiqqah; Ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan kekeliruan dalam meriwayatkan hadist; Jahalat Al Hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da’wat Al-Inqitha’.
Adapun informasi Jarh dan Ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan.
a.       Popularitas para perawi dikalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya , maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b.      Berdasarkan pujian atau pen-tajri-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka tidak dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengan rawi yang ditajrih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrihnya maka periwatannya menjadi tidak bisa diterima.

C.    Tingkatan-Tingkatan Lafadz Ta’dil
1)      Kata-kata yang menunjukkan penilaian sangat tsiqoh, menggunakan wazan : af’alu, kata ini menempati tingkatan tertinggi seperti :
فلان اليه المنتهى فى التثبيت
(Fulanun Ilaihi Al-Muntaha Fi Al-Tatsbiti)
لا اعرف له نظير فى الدنيا
(La A’rifu Lahu Nadziran Fi Al-Dunya)
فلان اوثق الناس
(Si fulan telah sampai pada tingkat keistiqomahan tertinggi)
Dalam hal ini, sepengetahuan saya, ia tidak ada yang menyamainya “Fulanun Atsbatunnas” (Si fulan itu makhluq terpeprcaya), atau kata “Fulanun Awtsaqu Man Adraktu Minal Basyari” (sepanjang yang saya ketahui si fulan itu makhluq terpercaya)
2)      Kata yang dikokohkan dengan satu atau dua dari sifat-sifat penilaian tsaqih, seperti kata-kata “(Tsiqotun- Tsiqotun)”, (Tiqotun Tsabtun), “(Tsiqotun Ma’munun)”, atau kata “(Tsiqafun Hafizhun).”
3)      Kata yang menunjukkan penilaian tsiqoh tampa penguat, seperti kata-kata : (Tsiqotun), (Hujjatun), (Tsabtun), (Kaannahu Mushhafun), atau kata-kata : “(Adlun Dhabitun)”
4)      Kata-kata yang menunjukkan keadilan (Ta’dil), tampa diterangkan kedhabithannya, seperti kata-kata : Shadiqun (sangat jujur), “Mahallahu Al Shidqi” (dalam tingkatan jujur), “La Ba’sa Bihi”  (tidak apa-apa). Menurut pendapat selain Ibnu Ma’in. sebab menurut beliau, kata-kata itu bernilai tsiqoh , “ma’mun” (dipercaya) atau kata-kata “lehiyarun” (pilihan).
5)      Kata-kata yang tidak menunjukkan penilaian tsiqoh atau penilaian cacat. Seperti : Fulanun Syaikhun (sudah tua), “Fulanun Rowa Anhun Naas” (orang-orang masih mau meriwayatkan dirinya), “Fulanun Ilas Shidqi ma hawa” (Fulan jujur, apa itu?), “fulanun Wasathun” (fulan itu biasa-biasa saja), atau “Fulanun syaikhun wasathun” (fulan itu tua dan biasa-biasa saja).
6)      Kata-kata yang mendekati penilaian cacat (tarjih) seperti “Fulanun Shaikhul haditsi” (ucapan fulan itu masih wajar) , “Fulanun Yaktabu Haditsahu” (ucapan fulan itu dapat ditulis), “fulanun la ya’tabaru bihi” (ucapan fulan itu ditinggal). “Fulanun Mugaribul Haditsi” (ucapan fulan dekat), “Fulanun Shalihun” (Fulan itu wajar-wajar saja)

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1)      Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist dari segi yang dapat menunjukkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafadz tertentu
2)      Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil berguna untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali
3)      Ada lima tingkatan lafadz ta’dil

B.     Saran
Dalam menentukan hadist itu shahih dapat kita lihat perawinya, sedangkan untuk menentukan seorang perawi itu adil atau dhabit maka kita melihatnya melalui Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil.

DAFTAR PUSTAKA

- At-Thahan, Mahmud, “Metodologi Kitab Kuning Melacak Sumber, Menelusuri Sanad Dan Menilai Hadist”. Surabaya : Diantama Wanocolo, 2007.

- Suparta, Munzier. “Ilmu Hadist”, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002.

- Ahmad, Muhammad, Mudzakkir, M. “Ulumul Hadist”, Bandung : Pustaka Setia, 2002

0 komentar:

Posting Komentar

 

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan

La takhaf wala tahzan
earth
top down