PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehidupan bukanlah taman untuk bersenang-senang,
kehidupan bukanlah hiasan bintang-bitang untuk kita selalu menatapnya, namun
kehidupan adalah jalan yang selalu dihadapkan pada sebuah hambatan dan
rintangan.
Oleh karena itu dalam hidup butuh sebuah petunjuk agar
kita selamat sampai tujuan. Dalah hidup ini pasti butuh bahtera untuk menyusuri
samudra, yakni samudra yang penuh badai, sekaligus ombak yang selalu
menghempas.
Itulah sebuah jalan yang penuh liku dan tantangan, sehingga
dalam hidup kita sangat membutuhkan
pedoman sebagai sebuah peta kebenaran. Dan sudah jelas di dalam Islam bahwa
ketika seseorang di dunia menginginkan selamat, menginginkan jalannya selalu
pada batas-batas kebenaran maka salah
satu modal dan penentunya adalah Al-Hadist yang merupakan penuntun jalan
kebenaran, jalannya para Salafus – Sholih.
Namun ada yang
perlu diingat oleh setuiap Umat Muslim agar tidak secara spontan menerapkan
hadist yang mereka terima tampa
adanya sebuah pemikiran kritis dan rasional tentang subtansi hadist itu
sendiri. Karena tidak semua hadist dapat secara langsung kita aktualisasikan ke
alam nyata tanpa mengintip apakah hadist tersebut sudah dapat dipertanggung
jawabkan keshahihannya.
Maka dari itu,
sangatlah penting kiranya kita membahas dan mendalami “Ilmu Jarh At-Ta’dil”
sebagai sebuah gerbang pengetahuan untuk melihat mana hadist yang shahih dan
mana hadist yang dhaif apalagi yang maudhu’. Dan karena didalamnya membahas
tentang para Rawi, baik Rawi yang dhabit atau rawi yang cacat.
B.
Rumusan Masalah
1)
Apakah Pengertian Ilmu Jarh
At-Ta’dil ?
2)
Apa saja kegunaan Ilmu Jarh
At-Ta’dil ?
3)
Apa saja tingkatan-tingkatan
lafadz ta’dil ?
C.
Maksud dan Tujuan
1)
Mengetahui secara mendalam tentang
Ilmu Jarh At-Ta’dil !
2)
Mengetahui manfaat atau kegunaan
Ilmu Jarh At-Ta’dil !
3)
Membedakan perawi yang dhabit dan
perawi yang cacat !
4)
Pembuka cakrawala ilmu hadist !
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Al-Jarh
At-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil, pada hakikatnya merupakan
suatu bagian dari Ilmu Rijalil Hadist. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang
sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri
sendiri.
Ilmu Jarh, yang secara bahasa berarti luka, cela, atau
cacat. Adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti
pada keadilan dan kedhabitannya. Sedangkan Ahli Hadist mendifinisikan Al-Jarh
dengan :
“Kecacatan pada perawi hadist disebabkan oleh suatu
yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi.”
Sedangkan At-Ta’dil yang secara bahasa berarti At-Tasywiyah
(menyamakan). Menurut istilah berarti:
“Lawan dari Al-Jarh, yaitu pembersihan atau pensucian
perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dhabit”
“Ulama’ lain mendifinisikan Al-Jarh dan At-Ta’dil
dalam satu difinisi yaitu :
“Ilmu yang membahas tentang para perawi hadist dari
segi yang dapat menunjukkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau
lafadz tertentu”.
Contoh, ungkapan tertentu untuk mengetahui para
perawi, antara lain : "فلان اوثق
الناس" (Fulan
orang yang paling dipercaya), “فلان ضابط” (fulan kuat hafalannya),
dan “فلان
حجة” (Fulan hujjah)
Sedangkan contoh untuk mengetahui kecacatan para rawi,
antara lain : “فلان اكذب الناس” (Fulan orang yang peling berdusta), “فلان منهم بالكذب” (si fulan tertuduh dusta), “فلان لاحجة” (fulan bukan hujjah).
Mencatat para perawi (yakni menerangkan
keadaannya yang tidak baik, agar orang
tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman Sahabat.
Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqoddimah
Kitab Al-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak
zaman Sahabat, diantara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi
hadist ialah Ibnu Abbas (34 H), dan Anas Ibnu Malik (93 H).
Diantara para Tabi’in ialah Asy-Syabi (103 H), Ibnu
Sirin (110 H), Syaid Ibnu Al-Musayyab (94 H). Dalam masa mereka itu masih
sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijriah baru ditemukan
banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena me-rafa-kan
hadist yang sebenarnya mauquf, dan adakalanya karena beberapa kesalehan yang
tidak disengaja, seperti Abu Harun Al-Abdari (143 H) .
Sesudah berakhir masa Tabi’in, yaitu pada kira-kira
tahun 150 H, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan para perawi, menakdil
dan menajrihkan mereka. Diantara ulama besar yang memberikan perhatian pada
uraian ini ialah Yahya Ibnu Said Al-Qattan (189 H), Abdurrahman Ibnu Maholi
(198 H), sesudah itu Yazid Ibnu Harun (189 H), Abu Pawel At-Tahyalisi (204 H),
Abdur Razaq Ibnu Human (211 H). sesudah itu barulah para ahli menyusun
kitab-kitab Jarah dan Takdil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi yang
boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
Diantara pemuka-pemuka Jarah dan Takdil ialah Yahya
Ibnu Main (233 H), Ahmad Ibnu Hambal (241 H), Muhammad Ibnu Saad (230 H) , Ali
Ibnu Madini (234 H), Abu bakar Ibnu Syaibah (235 H), Ishaq Ibnu Rahawiyah (237
H), sesudah itu Ad-Darimi (255 H), Al-Bukhori (256 H), Al-Jazali (261 H),
Muslim (251 H) Abu Zaroh (264 H), Baqi Ibnu Makhlud (276 H), Abu Zurah
Ad-Dimasyqi (281 H).
Kemudian pada tiap-tiap masa terdepat ulama-ulama yang
memperhatikan keadaan perawi hingga sampai pada Ibnu Hajar Asqolani (852 H).
Kitab-kitap yang disusun mengenai Jarah dan Takdil. Ada beberapa macam. Ada yang menerangkan
orang-orang yang dipercai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah
saja, atau orang-orang yang menadliskan hadist. Dan ada pula yang melengkapi
semuanya, disamping itu ada yang menerangkan perawi-perawi suatu kitab saja
atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.
Diantara kitab yang melengkapi semua itu adalah :
Kitab Tabaqot Muhammad Ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (230 H), kitab ini sangat
besar. Didalamnya terdapat nama-nama Sahabat, nama-nama Tabi’in dan orang-orang
sesudahnya kemudian bersahapula beberapa ulma besar lain, diantaranya Ali Ibnu
Madini (234), Al-Bukhori, Muslim, Al-Hariwi (301 H) dan Ibnu Hasim (327 H) dan
yang sangat berguna bagi ahli Hadist dan Fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam
Ibnu Katsir.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang
dapat dipercai saja ialah kitab As-Siqat karangan Al-Ajaly (261 H) dan kitab
As-Siqat karangan Abu Hasim Ibnu Hibban Al-Busty. Masih dalam bagian ini adalah
kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal , banyak pula ulama
yang menyusun kitab ini, diantaranya Az-Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqolani dan
As-Sayuti.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang
lemah-lemah saja ialah : kitab Ad-Duafa karangan Al-Bukhori dan kitab
Ad-Duafa karangan Ibnu Jauzi (587 H).
B.
Kegunaan Ilmu Al-Jarh
At-Ta’dili
Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil ini dipergunakan untuk
menerapkan apakah periwayatan seorang rawi bisa diterima atau harus ditolak
sama sekali. Apabila seseorang rawi “Al-Jarh” oleh para ahli sebagai rawi yang
cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadistnya
bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup
perbuatan bid’ah. Yakni melakukan tindakan tercela atau diluar ketentuan
syariah; mukholafah, yakni berbeda dengan periwayatan dengan periwayatan dari
rawi yang lebih Asiqqah; Ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan kekeliruan
dalam meriwayatkan hadist; Jahalat Al Hal, yakni tidak diketahui identitasnya
secara jelas dan lengkap; dan Da’wat Al-Inqitha’.
Adapun informasi Jarh dan Ta’dilnya seorang rawi bisa
diketahui melalui dua jalan.
a.
Popularitas para perawi dikalangan
para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang
mempunyai aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang
keadilannya , maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu
juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak
perlu lagi dipersoalkan.
b.
Berdasarkan pujian atau
pen-tajri-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan
seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka tidak dianggap
cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa
diterima. Begitu juga dengan rawi yang ditajrih. Bila seorang rawi yang adil
telah mentajrihnya maka periwatannya menjadi tidak bisa diterima.
C.
Tingkatan-Tingkatan Lafadz
Ta’dil
1)
Kata-kata yang menunjukkan
penilaian sangat tsiqoh, menggunakan wazan : af’alu, kata ini menempati
tingkatan tertinggi seperti :
فلان
اليه المنتهى فى التثبيت
(Fulanun Ilaihi Al-Muntaha Fi
Al-Tatsbiti)
لا اعرف
له نظير فى الدنيا
(La A’rifu Lahu Nadziran Fi
Al-Dunya)
فلان
اوثق الناس
(Si fulan telah sampai pada tingkat keistiqomahan tertinggi)
Dalam hal ini, sepengetahuan saya, ia tidak ada yang
menyamainya “Fulanun Atsbatunnas” (Si fulan itu makhluq terpeprcaya), atau kata
“Fulanun Awtsaqu Man Adraktu Minal Basyari” (sepanjang yang saya ketahui si
fulan itu makhluq terpercaya)
2)
Kata yang dikokohkan dengan satu
atau dua dari sifat-sifat penilaian tsaqih, seperti kata-kata “(Tsiqotun- Tsiqotun)”,
(Tiqotun Tsabtun), “(Tsiqotun Ma’munun)”, atau kata “(Tsiqafun Hafizhun).”
3)
Kata yang menunjukkan penilaian
tsiqoh tampa
penguat, seperti kata-kata : (Tsiqotun), (Hujjatun), (Tsabtun), (Kaannahu Mushhafun),
atau kata-kata : “(Adlun Dhabitun)”
4)
Kata-kata yang menunjukkan
keadilan (Ta’dil), tampa
diterangkan kedhabithannya, seperti kata-kata : Shadiqun (sangat jujur),
“Mahallahu Al Shidqi” (dalam tingkatan jujur), “La Ba’sa Bihi” (tidak apa-apa). Menurut pendapat selain Ibnu
Ma’in. sebab menurut beliau, kata-kata itu bernilai tsiqoh , “ma’mun”
(dipercaya) atau kata-kata “lehiyarun” (pilihan).
5)
Kata-kata yang tidak menunjukkan
penilaian tsiqoh atau penilaian cacat. Seperti : Fulanun Syaikhun (sudah tua),
“Fulanun Rowa Anhun Naas” (orang-orang masih mau meriwayatkan dirinya),
“Fulanun Ilas Shidqi ma hawa” (Fulan jujur, apa itu?), “fulanun Wasathun”
(fulan itu biasa-biasa saja), atau “Fulanun syaikhun wasathun” (fulan itu tua
dan biasa-biasa saja).
6)
Kata-kata yang mendekati penilaian
cacat (tarjih) seperti “Fulanun Shaikhul haditsi” (ucapan fulan itu masih
wajar) , “Fulanun Yaktabu Haditsahu” (ucapan fulan itu dapat ditulis), “fulanun
la ya’tabaru bihi” (ucapan fulan itu ditinggal). “Fulanun Mugaribul Haditsi”
(ucapan fulan dekat), “Fulanun Shalihun” (Fulan itu wajar-wajar saja)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1)
Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil adalah ilmu
yang membahas tentang para perawi hadist dari segi yang dapat menunjukkan atau
membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafadz tertentu
2)
Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil berguna
untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus
ditolak sama sekali
3)
Ada
lima tingkatan
lafadz ta’dil
B.
Saran
Dalam menentukan hadist itu shahih dapat kita lihat
perawinya, sedangkan untuk menentukan seorang perawi itu adil atau dhabit maka
kita melihatnya melalui Ilmu Al-Jarh At-Ta’dil.
DAFTAR
PUSTAKA
- At-Thahan, Mahmud, “Metodologi Kitab Kuning Melacak Sumber,
Menelusuri Sanad Dan Menilai Hadist”. Surabaya
: Diantama Wanocolo, 2007.
- Suparta, Munzier. “Ilmu Hadist”, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002.
- Ahmad, Muhammad, Mudzakkir, M. “Ulumul Hadist”, Bandung : Pustaka Setia,
2002
0 komentar:
Posting Komentar