Disusun
Untuk Memnuhi Tugas Manajemen Pendidikan Islam Yang Dibimbing Oleh Dosen Pengampu
Bpk. Dr. Atiqullah,S.Ag. M.Pd.
Disusun
Oleh :
Kelompok
: IX
NAMA
|
NIM
|
IMAM UBAIDILLAH
|
18201201010091
|
WaRDATUL JAMILAH
|
18201201010242
|
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAT TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
TAHUN AKADEMIK
2014/2015
1.
Bagaimana
pandangan islam tentang pendidikan ?
Pandangan
islam tentang pendidikan
Agama islam adalah agama universal. Yang mengajarkan kepada umat
manusia mengenai berbagai aspek kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi.
Salah satu dia antara ajaran islam tersebut adalah mewajibkan
kepada umat manusia untuk melaksanakan
pendidikan. Karena menurut ajaran islam, pendidikan adalah juga merupakan
kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula manusia akan
mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal dan kehidupannya.
Lebih-lebih islam adalah merupakan agama ilmu dan agama akal.
Karena islam selalu mendorong umatnya untuk mempergunakan akal dan menuntut
ilmu pengetahuan, agar dengan demikian mereka dapat membedakan mana yang benar
dan mana yang salah.
Dan apabila kita memperhatikan ayat-ayat yang pertama kali
diturunkan yaitu Surat Al-Alaq ayat 1-5, maka nyatalah bahwa Allah telah
menekankan perlunya belajar baca tulis dan belajar ilmu pengetahuan. Selain
menekankan kepada umatnya untuk belajar juga menyuruh umatnya mengajarkan
ilmunya kepada orang lain. Jadi islam
mewajibkan belajar dan mengajar.
2.
Bagaimana
pandangan islam tentang manusia??
Pandangan
islam tentang hakikat manusia
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu
merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan
substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain.
Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi (substansi = unsur asal
sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk.
Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt.[1]
Di bawah ini dikutipkan sebuah ayat suci
Al-Quran dan yang menguraikan tentang
proses kejadian manusia (surat
al-mukminun: 12-14)
“Dan sesungguhnya kami ciptakan manusia dari sari tanah. Kemudian kami
jadikan sari tanah itu air mani (terletak) dalam tempat simpanan yang teguh
(rahim). Kemudian dari air mani itu kami ciptakan segumpal darah lalu segumpal
darah itu kami jadikan segumpal daging
dan dari segumpal daging itu kami ciptakan tulang belulang. Kemudian tulang
belulang itu kami tutut dengan daging. Sesudah itu kami jadiakan dia makhluk
yang baru yakni manusia yang sempurna. Maka Maha Suci Allah pencipta yang
paling baik. (QS. Almukminun: 12-14)
Dari Al-Quran tersebut di atas, jelaslah bahwa proses perkembangan
dan pertumbuhan fisik manusia, tidak ada bedanya dengan proses perkembangan dan
pertumbuhan pada hewan. Semuanya berproses menurut hukum- hukum alam yang
material.
Dalam pandangan pendidikan Islam, untuk mengetahui hakikat peserta didik, tidak
dapat dilepaskan hubungannya dengan pembahasan tentang hakikat manusia, karena
manusia hasil dari suatu proses pendidikan. (Abdurrahman Shaleh,1990:45).
Menurut konsep ajaran Islam manusia pada
hakikatnya, adalah makhluk ciptaan Allah yang secara biologis diciptakan
melalui proses pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung secara evolutif,
yaitu melalui proses yang bertahap. Sebagai makhluk ciptaan, manusia memiliki
bentuk yang lebih baik, lebih indah dan lebih sempurna dibandingkan makhluk
lain ciptaan Allah, hingga manusia dinilai sebagai makhluk lebih mulia, sisi
lain manusia merupakan makhluk yang mampu mendidik, dapat dididik, karena
manusia dianugerahi sejumlah potensi yang dapat dikembangkan. Itulah antara
lain gambaran tentang pandangan Islam mengenai hakikat manusia, yang dijadikan
acuan pandangan mengenai hakikat peserta didik dalam pendidikan Islam. Peserta
didik dalam pendidikan Islam harus memperoleh perlakuan yang selaras dengan
hakikat yang disandangnya sebagai makhluk Allah. Dengan demikian, sistem
pendidikan Islam peserta didik tidak hanya sebatas pada obyek pendidikan,
melainkan pula sekaligus sebagai subyek pendidikan.
Manusia memiliki akal untuk berfikir. Jika manusia dihubungkan
sebagai peserta didik maka ia dipandang sebagai seorang yang aktif, bukan pasif
yang hanya menanti guru untuk memenuhi
otaknya dengan berbagai informasi. Seorang manusia sebagai peserta didik adalah
pribadi yang dinamis yang secara alami ingin belajar, dan akan belajar apabila
mereka tidak merasa putus asa dalam pelajarannya yangditerima dari orang yang
berwenang atau dewasa yang memaksakan kehendak dan tujuannya kepada mereka.
Dalam hal ini, Dewey menyebutkan bahwa anak itu sudah memiliki potensi aktif.
Membicarakan pendidikan berarti membicarakan keterkaitan aktivitasnya, dan
pemberian bimbingan padanya.
Seimbang dengan kewajiban pendidik untuk menyampaikan ajaran islam,
peserta didik harus menuntut ilmu, membaca dengan nama Alllah swt dan secara
bertahap (QS. Al-Insyiqaq : 19). Karena orang yang berilmu pengetahuan melalui
proses belajar itu berbeda dengan orang yang tidak mengetahui (QS. Al-Hujurat : 9). Orang yang
beriman dan berilmu pengetahuan akan ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt.
(QS. Al-Mujadilah :11), sedangkan orang yang tidak memanfaatkan karunia Allah
Swt. Berupa panca indera dan kalbu atau otak untuk berfikir, ibarat binatang
ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Peserta didik dalam pandangan Islam diarahkan pada sifat aktif.
Islam menganjurkan peserta didik untuk belajar agama, ilmu jiwa dan ilmu alam,
sejarah, botani, zologi, perkembangan dan proses kejadian manusia dan alam ilmu
falak, astronomi, geologi dan geografi. Semua itu sebagai bukti bahwa peserta
didik dalam konsep islam haruslah aktif dan dinamis dalam berpikir, belajar,
merenungkan, meneliti, mencoba, menemukan mengamalkan dan menyebarkanluaskan
aktifitasnya.[2]
3.
Bagaimana
pandangan islam tentang pengetahuan??
Islam merupakan agama yang
mengagunkan ilmu pengetahuan. Pandangan Islam terhadap Ilmu
Pengetahuan sangat signifikan. Hal ini tampak pada syarat keislaman
seseorang bahwasanya ia harus menggunakan otaknya untuk berfikir dan menerima
wahyu/ ajaran Islam.
Perintah untuk menuntut ilmu
pengetahuan tersebut sangat jelas bahwa Islam sangat menghargai ilmu
pengetahuan. Islam sangat melarangtaqlidu-l a’ma namun mewajibkan ummatnya
untuk al-ittiba’. Taqlidu-l a’ma dan al-ittiba’ memiliki arti yang berbeda.
Taqlidu-l a’ma berarti hanya mengikuti orang-orang sebelumnya, mengikuti apa
yang dikerjakan orang yang lebih tua tanpa tahu ilmunya dan mengerti dasarnya,
sebaliknya al-ittiba’ adalah mengikuti orang-orang terdahulu namun dengan
disertai ilmu pengetahuan tentangnya, bukan hanya mengekor tapi tahu apa,
mengapa, bagaimana dan untuk apa syariat/ ajaran yang diterimanya.
Meskipun begitu, ada
batasan-batasan dalam menggunakan akal dalam hal-hal syariat. Pedoman hidup
seorang Muslim beragama Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, barulah kemudian
menggunakan akal dalam menentukan masalah-masalah syariah dan muamalah. Hal ini
senada dengan percakapan Nabi Muhammad SAW dan Muadz Ibn Jabal.
Ketika Rasulullah SAW hendak
mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa yang menjadi pedomanmu dalam
mengadili sesuatu, hai Mu’adz?”
“Kitabullah,” jawab Mu’adz.
“Bagaimana jika kamu tidak jumpai
dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula.
“Saya putuskan dengan Sunnah
Rasul.”
“Jika tidak kamu temui dalam
Sunnah Rasulullah?”
“Saya pergunakan pikiranku untuk
berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia (Melampaui Batas) ,” jawab Muadz.
Maka berseri-serilah wajah
Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan
Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah,” sabda beliau.
Penggunaan akal secara eksplisit
disebutkan juga dalam sabda Rasulullah SAW di madinah kepada kaum muslimin
yaitu perkataan beliau, “Antum a’lamu biumuuri dunyaakum”. Artinya ‘Kalian
lebih mengetahui urusan dunia masing-masing’. Urusan dunia yang dimaksudkan
yaitu selain masalah mu’amalah dan syari’ah serta ibadah contohnya adalah
masalah bercocok tanam, membangun rumah, mendesain permukiman, menggunakan berbagai
alat untuk memudahkan pekerjaan sehari-hari atau kini disebut dengan
pemanfaatan teknologi.
[1] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam( Jakarta: BUMI AKSARA, 1995).
hlm.76.
[2] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam( Jakarta:
Rajawali Pers, 2011). Hlm. 114.
0 komentar:
Posting Komentar